...

BLOG INI PINDAH KE: doni-rao.blogspot.com

Minggu, 26 Juni 2011

Fenomena Organisatoris : Antara Tanggung jawab dan Konsekuensi*

             Apa yang ada di benak anda ketika mendengar kata organisasi? Sekumpulan manusia yang cukup aktif dalam melaksanakan kegiatan, orang-orang yang belajar (dalam konteks luas) diluar lingkup pendidikan formal, atau mereka yang mempunyai ideologi sama sehingga mendirikan sebuah ‘perkumpulan’ untuk mengaktualisasi ideologinya. Ya, semua pendapat tadi cukup valid dan rasional. Spesifikasi, yang coba kita bahas disini adalah organisatoris dalam ruang kampus, yang lazim disebut sebagai aktifis, aktifis organisasi atau aktifis pergerakan. Biasanya organisasi ekstra kampus yang selalu dijadikan tolok ukur.
           Tidak dipungkiri, disemua aspek kehidupan, terdapat tanggung jawab dan konsekuensi, dalam menjalani hidup misalnya, ada berbagai macam agama, ibadah dalam agama merupakan tanggung jawab sekaligus konsekuensi. Kita semua sepakat bahwa ibadah adalah tanggung jawab umat beragama kepada tuhannnya, ini normatif. Lalu menjadi anomali ketika ibadah di jadikan konsekuensi, apabila berbenturan dengan sesuatu yang urgent sifatnya, ibadah akan menjadi konsekuensi untuk di laksanakan bahkan didahulukan. Relativisme dalam meneropong ibadah dalam dua konteks, tanggung jawab dan konsekuensi.
           Kembali ke tema, disetiap tahap awal menjadi organisatoris, akan ada sebuah tahap pengenalan di mana terdapat doktrinasi yang seakan menjadi semacam dogma yang cukup sakral, yang cukup memompa jantung anda adalah ketika dalam doktrinasi tersebut terdapat semacam janji, sumpah atau ba’iat. Tanggung jawab terhadap sesama anggota, organisasi bahkan tuhan Yang Maha Esa di ucapkan disini. Sampai ditahap ini kita sudah tahu bahwa ketika baru beberapa detik pasca di ‘sumpah’ menjadi organisatoris sudah ada tanggung jawab yang menanti disana. Apa? Anda melanggarnya? Cap pengkhianat dan berbagai sanksi sosial akan menanti anda sebagai konsekuensi.
           Fenomena yang menarik untuk di diskusikan disini adalah ketika seseorang terbentur antara tanggung jawab organisasi dengan tanggung jawab sosial dan tanggung jawab terhadap keluarga. Contoh menarik ketika kader yang cukup berpotensi (atau yang paling ‘pas’ dibanding kader yang lain) diberi tanggung jawab oleh pengurus, anggota dan senior untuk memangku jabatan dalam lingkup organisasi internal, dinamika organisasi ekstra untuk menjadi nomor 1 dalam jabatan intra akan menjadi gengsi, prestisius, dan tentu saja eksistensi atau bahkan memperlancar aliran ‘dana-dana revolusi’ dari pihak kampus terhadap anggota lain dan organisasi koalisi – Tidak makna untuk berkilah, memang dari semua alasan, empat hal tadi yang menjadi faktor fundamental, alasan lain akan menjadi sebuah omong kosong belaka.
           Asumsi yang cukup kontroversional yang di publish dalam jurnal mahasiswa, ya mungkin ini klimaks yang termanifestasi dalam sebuah tulisan. Ingat, tidak ada yang salah disini, itu rahasia umum dan memang orientasi dalam konteks politik.
Peta Dalam Ruang Kampus
           Bila partai berebut mencari tempat eksekutif, organisasi ekstra yang diibaratkan partai akan berkoalisi untuk mendapatkan tempat nomor 1 di Himpunan Jurusan yang diibaratkan Gubernur, BEM / Senat yang diibaratkan eksekutif paling seksi (presiden). Akan terjadi kontrak politik antara organisasi ekstra koalisi disana dalam membentuk kabinet yang diibaratkan menteri di BEM / Senat, pejabat / staf Gubernur dalam ruang Himpunan Jurusan dan Ketua atau anggota DPR dalam konteks BPM. Kampus sendiri diibaratkan menjadi Negara yang ‘penting’ untuk dibenahi.
           Bak konstelasi sungguhan dalam Negara, organisasi ekstra juga terpetakan menjadi dikotomi-dikotomi (parsial), ada yang mempunyai kedekatan emosional yang akan sulit untuk berseberangan atau menjadi oposisi, ada yang memang sudah tidak klop lagi untuk berkoalisi akibat fakta empiris, ada sentimentil terhadap organisasi tertentu yang kemudian menjadi doktrin cukup ekstrim dan jadi isu ‘nasional’ dalam kampus dan bahkan memang ada yang cukup bernuansa politis untuk didekati, hanya pada hajat tertentu mereka berkoalisi, dalam lain hal mereka seperti musuh abadi. Banyak juga yang melanggar kontrak poltik – memang lumrah dalam politik, namun, organisasi ekstra tidak melulu nuansa politis, ada emosional dan social disana – secara organisasi dan pribadi, jangka pendeknya adalah LPJ saat demisioner dan jangka panjangnya adalah isu.
Fenomena yang Lumrah
           Fenomena seperti paragraf empat tadi adalah sedikit gambaran dalam fase anda berorganisasi. Tanggung jawab sebagai organisatoris secara sederhana adalah ketika anda diberi misi untuk membenahi organisasi intra dengan duduk pada jabatan tertinggi – mau tidak mau – anda harus bersedia, awamnya seperti ini, pengurus, anggota atau senior sekalipun tidak akan membuat malu organisasinya ketika mencalonkan kader yang tidak berpotensi sama sekali, ini akan menjadi blunder dan bumerang terhadap nama baik organisasi yang selama ini terbangun dengan memakan waktu. Peningkatan kapasitas akan berproses dan berkontinyuasi ketika mendapatkan tanggung jawab besar menjadi ketua umum di intra. Jadi, berbanggalah kalian yang pernah di tunjuk untuk memangku sebuah jabatan walaupun hanya sekedar isu, terlepas dari terealisasi atau tidak, ini membuktikan bahwa keuletan anda dalam berorganisasi cukup di apresiasi, tidak ada alasan untuk ‘takut’ atau berkecil hati.
           Anggap saja bila potensi, restu, kualifikasi menjadi calon dan organisasi koalisi sudah fix, tinggal menguatkan kembali diri si calon, yang perlu di garis bawahi disini dan sering kali keliru adalah, pada tahap ini yang dibutuhkan si bakal calon adalah motivasi, apresiasi, dukungan dan semangat, bukan pola konserfatif nan primitif seperti ‘menghabisinya’ dalam fit and proper test, hey kawan, itu bukan menempa kader, bukan bimbingan mental. Hal tersebut dilakukan pada saat membangun wataknya, pada saat “mensortir” siapa saja yang harus di dorong untuk maju, pada hal yang selektif, pada beberapa bulan sebelum mengerucutkan calon. Bila si calon lemah, malah akan membuatnya semakin pesimis dan aprioristis, tidak jarang hal ini justru menjadi ‘duri dalam daging’, konflik internal dan kesenjangan sosial antar anggota dengan anggota lain, bahkan dengan para senior, bila dendam positif yang muncul akan lebih baik, namun, bila tidak? Apakah pola-pola menggelikan ini terus di jalankan? PR besar bagi kita semua. Watak dan tempa dibangun pada tahap awal menjadi organisatoris, bukan pada saat dipercaya menjadi calon.
           Hal dilematis lain adalah ketika menyangkut tentang keluarga, disadari atau tidak, menyelesaikan studi lebih cepat dengan nilai yang memuaskan adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarga, itu akan sedikit terbentur ketika tanggung jawab organisasi berbicara bahwa jabatan internal menantimu dengan konsekuensi masa studi agak tertunda. Dilematis, antara keluarga dan organisasi, organisatoris yang baik adalah menyerahkan keputusan tersebut kepada si calon, karena sudah menyangkut keluarga, cukup sensitif.
*Oleh: Don Gusti Rao, Wakil Ketua Umum Senat Mahasiswa FISIP UNAS.
(Buletin IQRA PMII UNAS, Edisi X / Januari- Februari 2011 "Music, Politik & Kritik Sosial". Hal 10.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar