...

BLOG INI PINDAH KE: doni-rao.blogspot.com

Kamis, 07 Juli 2011

RM Tirto Adhi Soerjo: Sebuah Catatan Kecil Kelas Perdana*

             Saya yakin, di antara kami, para peserta kelas Sekolah Pemikir Megawati Institute pada awalnya tidak ada yang begitu mengenal beliau (RM Tirto Adhi Soerjo, selanjutnya RMTAS). Pun di amini oleh Hilmar Farid, pemateri pada kelas perdana yang membawakan genealogi pemikiran RMTAS. Selain Publisitas yang minim dan “tersaingi” oleh nama-nama beken pada zamannya, saya yakin, sentimental yang cukup begitu tinggi juga bermain.[1]
            Adalah Pramoedya Ananta Toer, seniman “kontroversial” yang mempunyai jasa besar menambah khasanah wawasan dan literatur tentang RMTAS, Tetralogi Buru lewat Minke-nya berhasil membuka mata para cendikia dan akademisi. Saya pun bergumam dalam hati, “bila tidak karena karya apresiatif Pram yang mengangkat RMTAS, diskusi di Megawati Intitute ini adalah ketidak-niscayaan belaka”. Lalu yang menjadi pertanyaan, mengapa Pram tertarik mengangkat kisah tentang RMTAS?, itulah statement yang saya lontarkan pada saat diskusi sudah melangkah terlalu jauh, dan memang sedang seru-serunya.
            Memang, dari sekian banyak forum yang saya lalui, forum di kelas perdana ini adalah salah satu yang paling komunikatif, saya cukup menikmatinya, sampai-sampai kuota untuk menanggapi persentasi pemateri pun ditambah hingga tiga termin, dan yang perlu dicatat, wacana yang dikeluarkan seluruh peserta pun menarik untuk di telaah bersama, menimbulkan beragam perspektif yang menjadikan forum melalang buana jauh, hingga keluar dari substansi, dan ini normatif.
            Yang menarik adalah statement dari saudara Hanafi pada saat termin pertama baru saja dimulai. Saudara Hanafi cukup begitu indah merepresentasikan akar yang tercerabut dalam diskusi ini, seakan “menelanjangi” pemateri bahwasanya RMTAS cukup begitu berperan dalam dunia pergerakan, ditandai dengan kontribusi besar RMTAS dalam mendirikan Sarekat Dagang Islam – yang kemudian bermetamorfosis menjadi Sarekat  Islam – namun hanya implisit disinggung pemateri. Namun, saya juga berfikir bahwa ini adalah genealogi pemikiran RMTAS, jadi, sah-sah saja bila disinggung secara implisit maupun eksplisit, yang penting definitif dan kontekstual.
            Memang, statement Hanafi tadi – yang cukup lama berbicara hingga diingatkan oleh moderator yang juga Direktur Program, Ibu Indah – cukup membuat saya terenyuh, lebih seksi membahas RMTAS dari segi peranannya di Sarekat Dagang Islam dari pada peranannya di dunia jurnalistik. Hilmar Farid pun tersirat menggambarkan bahwa di dunia jurnalistik ini lah nama RMTAS berkibar, di SDI cukup banyak tokoh berperan, namun di dunia jurnalistik RMTAS bisa dikatakan menjadi garda terdepan, pionir dalam memajukan dunia jurnalistik dan kewartawanan pribumi. Ya, mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.[2]
            Masih dalam dunia jurnalistik, RMTAS adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.[3]
***
            Sejujurnya, statement awal saya pun masih ditanggapi samar-samar oleh forum dan pemateri, semua tanggapan normatif, dan belum berhasil “membuka mata saya”. Cukup sederhana padahal, mengapa Pram tertarik mengangkat kisah tentang RMTAS?
            Rasa haus informasi ini pun membuat saya mencari artikel-artikel yang berelevansi di dunia maya, sebagai bahan referensi dan parameter. Lagi-lagi normatif, setiap artikel di Blog atau jurnal yang saya temui mengemukakan alasan normatif yang sudah saya dengar berkali-kali di dalam forum. Walaupun non-fiksi, karya “eyang” Pram ini menimbulkan apresiasi dan tanda tanya luar biasa, setelah saya elaborasi mendalam, mengerucut hingga satu kata: apresiasi. Karena tanggapan mereka semua hanya itu. Lalu ada alasan lain seperti: Pram menulisnya berdasarkan dokumentasi essai dan catatan pribadi R.M. Tirto Adhi Soerjo, jadi karena Pram memang sudah “mempunyai” catatan pribadinya.
            Akhirnya saya mencoba beranalisa sendiri, setelah jawabannya hanya itu-itu saja, berikut analias saya:
            Pramoedya Ananta Toer adalah seniman yang aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), semua orang tahu itu. Lekra adalah organisasi sayap kiri dan didirikan atas inisiatif D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta[4] pada tanggal 17 Agustus 1950. D.N. Aidit dan Nyoto saat itu adalah pemimpin Partai Komunis Indonesia yang baru dibentuk kembali setelah kegagalan gerakan Musso dalam Peristiwa Madiun.
            Lekra bekerja khususnya di bidang kebudayaan, kesenian, dan ilmu pengetahuan. Lekra bertujuan menghimpun tenaga dan kegiatan para penulis, seniman, dan pelaku kebudayaan lainnya, serta berkeyakinan bahwa kebudayaan dan seni tidak bisa dipisahkan dari rakyat.[5]
            RMTAS, (bersama Haji Samanhudi) adalah salah satu pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi Sarekat Islam (SI), dalam perjalananya – setelah RMTAS wafat – SI kemudian pecah, antara SI Putih pimpinan H.O.S Cokroaminoto dan SI Merah pimpinan Semaoen yang kental akan komunisme. SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri berpusat di kota Semarang. Sedangkan HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu tersebut.
            Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme.[6] Pada saat kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan komunis karena keduanya memang bertentangan. Di samping itu Agus Salim mengecam SI Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam kebijaksanaan keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang juga menentang pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto lebih condong ke SI haluan kanan (SI Putih).
            Bagaimanapun, suka atau tidak suka, RMTAS berpengaruh besar dan berelevansi signifikan pada awal berdirinya SI, yang menjadi tolok ukur adalah korelasi SI dengan komunis. Awamnya RMTAS (walaupun jauh hubungannya) menjadikan wadah SDI sebagai organisasi (politik) yang kemudian disusupi komunis. Substansinya adalah: SI Merah-Lekra-komunis. Jadi, Pram mengambil kedekatan komunisme mengambil RMTAS sebagai karyanya – disamping satu perjuangan karena sama-sama “berjuang” sampai menjadi tahanan politik.
*Oleh Don Gusti Rao, Refleksi pada Kelas Perdana Sekolah Pemikir Pendiri Bangsa Megawati Institute. 
Disampaikan pada Kelas ke Dua Tanggal 6 Juli 2011 di Megawati Institute.

           
               



[1] Ini ditandai dengan derasnya suhu politik waktu itu, selain itu, keaktifan beliau di dunia organisasi cukup mengundang sentimentil terhadapnya.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Tirto_Adhi_Soerjo
[3] Ibid.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Lekra
[5] Ibid.
[6] adalah paham politik yang lahir pada saat Perang Dunia II (April 1936) mengingkuti paham yang tertulis dalam al-a'mal al-Kamilah dari Jamal-al-Din Afghani Kemudian berkembang menjadi gerakan memperjuangkan untuk mempersatukan umat Islam di bawah satu negara Islam yang umumnya disebut kekhalifahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar