Pengertian integrasi dan disintegrasi nasional
Integrasi Nasional identik dengan integritas bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau pembauran berbagai aspek sosial budaya ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan identitas nasional atau bangsa (yang harus dapat menjamin terwujudnya keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam mencapai tujuan bersama sebagai suatu bangsa. Integritas nasional sebagai suatu konsep dalam kaitan dengan wawasan kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan pada aliran pemikiran/paham integralistik.(1)
Pengertian ini berhubungan dengan paham idealisme untuk mengenal dan memahami sesuatu yang harus dicari kaitannya satu dengan yang lain. Dan untuk mengenal manusia harus dikaitkan dengan masyarakat di sekitarnya dan untuk mengenal suatu masyarakat harus dicari kaitannya dengan proses sejarah.
Istilah Integritas Nasional terdiri dari dua kata yaitu “Integritas” dan“Nasional”. Istilah “Integritas” mempunyai arti “mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan”,(2) sedangkan istilah “nasional” mempunyai arti kebangsaan, bersifat bangsa sendiri yang meliputi suatu bangsa,(3) berupa adat istiadat, suku, warna kulit, keturunan, agama, budaya, wilayah/daerah.Integritas nasional wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara.(4)
Setelah pengertian integrasi kita dikupas di atas, maka disintegrasi bangsa dapat dikatakan lawan arti dari integrasi bangsa. Disintegrasi bangsa sangat membahayakan keberadaan Negara ini dalam percaturan kehidupan bernegara di dunia. Dapat diartikan pula kondisi pecahnya kesatuan dan persatuan bangsa kita. Persatuan dan kesatuan ini dapat dilihat dalam kontek kewilayahan maupun kebangsaan yang meliputi kesatuan ekonomi, politik, sosial budaya, ideologi dan pertahanan keamanan.
Pokok masalah dalam konteks politik
Apabila kita lihat dengan seksama, sesuai dengan pengertian di atas, disintegrasi bangsa merupakan hal yang sangat urgen bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, urgensi ini makin menarik apabila kita elaborasi lebih dalam dari sudut pandang atau konteks politik yang notabene adalah sebuah induk dari faktor adanya sesuatu yang bermuara pada kekuasaan, keutuhan, tata letak dan birokratif suatu bangsa,(5) saya pribadi lebih suka menyebutnya dengan “faktor X” karena dari faktor politiklah semua yang menyangkut bangsa dapat di komparasikan mengenai jalan keluar hingga awal masalah yang menjadi urgensinya.
“Faktor X” ini menjadi general dan tidak layak ter-dikotomi karena menyangkut bangsa dan Negara, dan harus terselesaikan dengan cara generalisasi yang di mulai dengan proses awal dari hal yang terkecil – seperti dalam tingkat propinsi, kita telaah permasalahannya, penyebab, potensi hingga mekanisme jalan keluarnya – hingga yang paling besar secara step by step dan berkontinyuasi.
Dalam konteks yang (bisa dikatakan) kecil dan sederhana seperti pada tingkat propinsi, masalah disintegrasi lebih sederhana namun mematikan! Mengapa? Hal ini terkait dari masalah ego – selain berkompetisi dengan propinsi lain, DKI Jakarta memikul tanggung jawab yang lebih berat untuk mempertahankan gengsi sebagai ibu kota Negara, propinsi di DKI harus lebih baik dari propinsi lain dan pandai meramu strategi agar tidak terjadi clash / benturan untuk hal itu dan apabila tidak di kelola dengan baik dan selalu “mengkotak-kotakkan” atau mendikotomikan hal yang seharusnya bisa di telaah dari kaca mata general, ini akan menjadi bumerang, padahal salah satu tugas pokok semua propinsi selain untuk mensejahterakan masyarakatnya adalah untuk menjadi lebih baik lagi dan membawa harum nama daerahnya untuk bisa berbicara di tingkat nasional sehingga masalah disintegrasi bangsa bisa tergerus secara perlahan karena soliditas yang di bangun – hingga kepentingan individu maupun kelompok, mayoritas-minoritas secara sepihak yang akan menjadi sesuatu hal yang notabene mengangkangi orientasi ke depan. Kita semua tentu tidak akan pernah mau pepatah yang berbunyi “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” ber-realita karena “hanya” dari daerah setingkat propinsi akan berdampak pada tingkat nasional yang merusak sebuah citra dan itu adalah sebuah masalah yang (bermuara pada disintegrasi) “lebih sederhana” namun mematikan. Contoh konkritnya apabila kita berbicara tentang ego kepentingan individu-kelompok yang berprospek pada terjadinya disintegrasi adalah dari masalah kompleks nan klasik seperti pembangunan-pembangunan infra maupun supra struktur yang terus terbengkalai – infra struktur yang terbengkalai di propinsi DKI Jakarta mudah sekali di temukan, seperti banyaknya jembatan penyeberangan/tiang pancang untuk monorail yang belum jadi dan terbengkalai dan sangat mengganggu pengguna jalan, salah satunya di depan gedung KPK – dan coba kita kaitkan dengan ego tadi, esensinya adalah mencari sebuah pengakuan, citra dan legitimasi yang hanya akan “mengharumkan” individu-kelompok tertentu saja. Ini tidak general dan akan menjadi semacam blunder yang berbahaya, dan apabila kelompok-kelompok tadi terlena dengan “aktifitas keliru” tersebut dan berhasil mencapai citra hingga pangkat yang terus meroket tajam, terus terang saya tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi bila mereka duduk pada jabatan strategis di birokrasi-departemen yang lebih tinggi dan prestisius (mungkin disintegrasi yang lebih kompleks).
Memang apabila kita berbicara tentang politik (yang pragmatis), sebuah nilai dengan prestis tinggi seperti pada sebuah sistem bergengsi yang di dalamnya terdapat kader atau simpatisan (partai/organisasi politik ber-AD/ART) yang berperan (cukup signifikan) akan menjadi sebuah legitimate yang ber-simbiosis mutualisme, bagaikan dua sisi mata uang yang selalu berdampingan namun terpisah, di sisi lain individu-kelompok tersebut membutuhkan kendaraan politik untuk mencari kekuasaan yang berproses dan mencari semacam tameng untuk membekingi policy yang di buatnya yang ber-pragmatisasi, di sisi lain partai-orpol membutuhkan lumbung suara, kaderisasi, “pendanaan balik atau pendanaan kembali” apabila sudah mapan/mencukupi administrasi untuk pembendaharaan partai, substansinya adalah keduanya membutuhkan legitimasi yang kuat untuk mempertahankan orientasi yang sudah menjadi pakem atau platformnya.
Jadi, esensi masalah yang niscaya akan menjadi disintegrasi bangsa yang di mulai dari tingkat propinsi adalah adanya sebuah kepentingan yang ter-dikotomi pada konteks-konteks tertentu yang notabene sangat menghambat proses orientasi yang sesungguhnya sudah dicanangkan sejak awal (yang bertendensi pada kepentingan rakyat), semuanya ingin menjadi terdepan atas nama ego kelompok sendiri, tidak general dan sangat memaksakan, karena dengan citra yang akan dimiliki oleh kelompok secara sepihak akan “melanggengkan dan menaikkan” bahkan bersifat sangat prestisius dalam konteks citra dan jabatan.
Kita seharusnya memang tidak bisa menjustifikasi seenaknya masalah disintegrasi pada tingkat propinsi tanpa data yang akurat, namun hal itu akan termaklumi dan sah-sah saja apabila memang hal tersebut sudah mudah terlihat baik secara eksplisit maupun implisit. Di DKI Jakarta, masalah fundamental yang sangat riskan dan bermuara pada disintegrasi banyak sekali seperti yang disinggung di atas yaitu masalah infra struktur yang terbengkalai, dikotomi yang tak seharusnya – seperti yang terjadi pada internal birokrasi, organisasi-organisasi masyarakat yang terus bersitegang seperti fenomena gesekan antara FBR-FORKABI-suku pendatang,(6) pemilihan kepala daerah dan konflik yang berkaitan dengan SARA – hingga budaya politik yang sudah tidak relevan untuk diimplementasikan.
Hal yang ter-ejawantah yang bersifat solutif yang ditawarkan
Bila kita ber-apriori, masalah tersebut adalah masalah kompleks dan sistemik, tidak mudah untuk di tanggulangi bila bukan dari diri sendiri, bahkan bila wacana tentang reformasi birokrasi di implementasikan atau yang lebih ekstrem seperti civil society jilid selanjutnya di coba tidak melulu berlebihan. Dan menurut perspektif saya pribadi bahwa hal tersebut adalah semacam solusi alternatif terakhir yang dilakukan, mengapa? Karena tidak mudah mewujudkan hal tersebut kalau bukan karena kebutuhan dan keinginan yang sudah mengakar kuat. Dan memang harus diakui bahwa hal tersebut adalah sebuah fenomena budaya politik Indonesia yang memang sudah terjadi.
Tapi, di sini kita adalah mahasiswa yang notabene sebagai agent of change dan kaum intelektual muda yang tidak mengenal kata skeptis dan apriori (untuk orientasi positif kepada masyarakat), kita “hanya” mengenal kata apresiasi dan koreksi untuk setiap policy yang dilakukan dan di tawarkan pemerintah.
Solusi yang (saat ini) dianggap rasional adalah dengan melebur setiap individu atau kelompok yang mempunyai background politik yang berbeda bahkan berseberangan (ideologi) menjadi satu, karena bila berbicara jabatan, (baik eksekutif, legislatif atau yudikatif) orientasi dan kepentingan hanya untuk satu kata: yaitu Negara, hal-hal yang menyangkut kepentingan background kelompok tertentu yang harus di tinggalkan karena sudah menjadi amanah untuk berbakti terhadap bangsa, Negara dan tentunya masyarakat. Atau kita mengambil sistem yang mempunyai kebijakan bahwa hanya kaum independen yang mengambil alih masalah yang bisa berorientasi pada disintegrasi? Memang tidak ada parameter untuk hal ini, namun tidak ada salahnya untuk di coba, kita yang akan menjadi parameter pertama terhadap sisitem lain dan menjadi garda terdepan untuk sistem ini.
Bila kita menoleh kebelakang berdasarkan data empiris, lepasnya Timor-Timur menjadi Negara merdeka, konflik-konflik etnis (yang bisa bermuara pada disintegrasi) di Aceh, Ambon, Papua, Poso dan lainnya – selain masalah kecemburuan sosial pada pusat tentunya – adalah sebuah tolok ukur dari adanya kepentingan yang bertendensi dan ketidakpuasan. Namun, tidak adanya independensi yang melahirkan kepentingan tadi-lah yang menurut hemat saya menjadi faktor fundamentalnya. Ibaratnya, (tidak adanya) independensi adalah sebuah judul yang di bawahnya terdapat sub-sub judul seperti kepentingan yang bertendensi, kecemburuan sosial, otonomi yang berjalan pincang tanpa adanya independensi yang di gelayuti oleh kepentingan sepihak, dan tentu saja kesimpulannya adalah disintegrasi bangsa.
Otonomi daerah yang di anggap sebagai salah satu pemecah masalah disintegrasi bangsa malah akan menjadi blunder apabila tidak adanya independensi yang kuat, karena mempunyai hak otonom, mereka seenaknya menjalankan sistem yang bertendensi kepada kelompoknya.
Potensi disintegrasi
Dengan terjadinya disintegrasi pada suatu bangsa, maka citra yang di dapat Negara tersebut di mata dunia adalah sebelah mata, kurang apresiasi dan legitimasi. Terjadinya disintegrasi di Indonesia yang berujung pada merdekanya Timor-Timur memang di akui menurunkan “derajat” NKRI di mata dunia karena tidak bisa mempertahankan kedaulatannya. “Bagaimana mau berbicara lebih pada tingkat dunia bila tidak bisa mengurus internal negeri sendiri, urus negeri sendiri saja dulu baru berkoar di internasional” itulah argumen menohok yang di lepaskan lawan politik BJ Habibie saat Timor-Timur lepas dari NKRI yang saya di kutip dari media nasional.(7)
Sebagai Negara kepulauan dan kesatuan yang di pisahkan oleh lautan luas, dan juga sebagai Negara yang menganut sistem multi partai yang notabene memiliki berbagai macam kepentingan dan orientasi, disintegrasi adalah masalah kompleks yang akan terus hadir bagi Indonesia, ini merupakan PR berharga bagi pemerintah dan kita semua yang tidak menginginkan perpecahan, dan menurut perspektif saya, independensi adalah sebuah keniscayaan yang akan mengurangi bahkan menghapus bahaya disintegrasi di masa kini dan mendatang.Cheers
*Oleh Doni Rao, Mahasiswa Ilmu Politik UNAS (Papper ini juga ikut berpartisipasi dalam ajang FISIP National Camp,konferensi mahasiswa FISIP se-Indonesia, 1 – 5 Agustus 2010,di Universitas Indonesia, Depok.
Dikutip dari Buletin IQRA, Edisi XI / Tahun ke V, Maret - April 2011. Spesial Kongres XVII. “Pemimpin dan Tanggung Jawab Sosial”. Hal 14-15)
1.Aliran yang dicetuskan oleh G.W.F. Hegl (1770-1831)
2.Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2005
3.Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989
4.Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2008
5.“Dasar-dasar ilmu politik”, Prof . Miriam Budiarjo. Hal 8 (inplisit)
6.Seperti diwartakan berbagai media Juni-Juli 2010
7.Koran kompas, edisi? (lihat di www.kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar