...

BLOG INI PINDAH KE: doni-rao.blogspot.com

Sabtu, 25 Juni 2011

Budaya Politik yang Semakin Membudaya*

     Apriori adalah sikap pertama yang secara gamblang menjadi terawang fenomena (budaya) politik dewasa ini, di awali dari sikap individu maupun kelompok yang seakan ber-konsistensi namun ternyata sikap yang konserfatif-lah yang menjadi faktor fundamennya, konserfatif seperti jaman monarkhi secara empiris sebenarnya sangat tersurat mencederai demokrasi, memang tidak ada yang salah dengan “kekolotan” tersebut apabila sudah lebih dahulu ber-parameter dengan konsekuensi dan ke-pragmatisannya. Namun, apakah relevan dilihat dari konteks etika dan “estetika” politik?
     Omnis Potestas Deoper Populam “Segala kekuatan berasal dari tuhan dan dengan perantara rakyat”, ya, tanpa etika dan estetikapun politik akan tetap solid, sebuah alibi bahwa kekuatan pasti berasal dari tuhan lewat rakyat dan bukan dari koalisi ataupun opsisi dan lawan politik karena bagaimanapun politik dan kepentingan pasti berpegangan pada satu kata yaitu: rakyat. Kata kuncinya adalah sikap, bagaimana sikap politik yang condong pada satu tindakan atau policy yang solutif seperti implementasi yang radikal untuk sesuatu yang sifatnya implementatif pula atau malah tindakan policy yang bersifat pragmatis, – dalam konteks pragmatis satu arah, konteks per konteks, hanya untuk si pembuat kebijakan dan kelompok dekatnya, tidak general – tindakan seperti itu memang sangat mencederai esensi demokrasi dan memang harus ter (di) rminimalisir.
     Di Indonesia, atau tepatnya pada budaya jawa yang menyatu dengan kepentingan politik dikenal (di kritisi oleh akademisi & pengamat politik) dengan istilah “AMPI” akronim dari kata: anak, menantu, ponakan dan ipar. Kependekan itu bukan tanpa alasan, apabila rezim suatu kepemerintahan atau kelompok kepentingan (partai) berkuasa pasti ada unsur-unsur yang dikatakan AMPI tadi menyelinap dalam sebuah jabatan yang bisa dikatakan jabatan strategis untuk finishing touch sebuah kebijakan, terlepas dari kapasitas individu tersebut, apakah suatu manifestasi dari nepotisme?
     Apabila kita mencoba berparameter terhadap fenomena budaya politik Indonesia, Yang menarik untuk disimak adalah fenomena kongres salah satu partai oposisi terbesar di Indonesia seperti PDI P beberapa waktu lalu di Bali, budaya AMPI seakan tidak berlaku karena keputusan final peserta kongres memilih Megawati Soekarnoputri untuk memimpin kembali partai yang menjadi oposisi terbesar pemerintah itu. Padahal begitu gencar diberitakan bahwa Puan Maharani akan meneruskan tongkat estafet partai yang mempunyai jiwa oposisi paling besar di banding partai lain tersebut. Namun hal itu terjadi bukan tanpa alasan, mereka tidaklah bodoh untuk menentukan sikap yang amat urgen untuk membangun partai ke depan seperti ini, terlepas dari amat kuatnya posisi Megawati dipartai tersebut, sebenarnya bisa dikatakan bahwa karisma Megawati tidak sehebat dulu, munculnya kader-kader baru potensial yang seakan sadar akan ke-otoritarianisme dalam tubuh partai dan kekalahannya pada pemilu (PDI P) ataupun pemilihan presiden lalu menjadi salah satu faktor yang sedikit banyak mempengaruhi berkurangnya karisma ketokohannya, dan bila dilihat dari mekanisme pemilihan presiden lalu pada waktu sesi perdebatan antar kandidat, Megawati kalah menonjol dari kedua kandidat lain: SBY dan JK. Alasan lain yang sangat relevan ketika muncul pertanyaan tentang motif mengapa Puan tidak jadi maju adalah bahwa Puan Maharani djadikan sebagai aset masa depan partai, ia tetap akan disiapkan sebagai penerus “dinasti” Megawati. Ini dilakukan karena budaya politik Indonesia memang masih meyakini budaya konserfatif – seperti monarkhi absolut yang notabene hanya garis keturunan yang dijadikan sebagai penerus takhta kerajaan – sebagai pegangan untuk kekuasaan, apalagi di dalam tubuh PDI P terdapat banyak kader-kader potensial yang diyakini bisa mengancam dan merubah sistem yang selama ini diterapkan, dan tengoklah atmosfir panas sebelum kongres tersebut dimulai, sudah tercium aroma kompetisi yang menginginkan harus adanya reformasi dalam tubuh partai. Dan yang perlu di catat adalah prestise yang tentu saja tinggi bagi keturunan keluarga tersebut apabila memimpin sebuah sistem secara turun temurun.
     Dinasti tersebut tidak akan disiapkan begitu cepat karena selain terlalu hijau untuk menakhodai partai besar, penerus tahta tersebut juga dipersiapkan untuk mempelajari (dan mendampingi) apa yang dilakukan oleh sang ratu selama memimpin, mengambil kesempatan, membuat policy untuk oposisi / koalisi dan mengambil sikap politik terhadap kader atau koalisi yang terlalu banyak tingkah, ia terus berproses dan berkontinyuasi, dan, apabila saatnya tiba, kita lihat saja apakah budaya paradigma konserfatif AMPI tersebut terealisasi.
Berkesinambungnya “budaya konserfatif” dalam tubuh partai modern
     Selain budaya yang tertulis secara gamblang di atas, hal-hal yang terejawantah dalam sebuah sistem kekuasaan adalah pragmatisasi dan kepentingan (dalam konteks berbeda) dibalik sikap dan kemauan politik. Hal ini memang dipercayai akan tetap ada dalam sistem politik manapun dan hal itu memang sebuah realita dalam fenomena yang ada.
     Pragmatisasi dan kepentingan politik di balik sebuah sikap dan keputusan politik tadi amat menonjol apabila kita amati pada hasil akhir munas golkar beberapa bulan lalu. Banyak calon-calon yang maju untuk menjadi kandidat ketua umum yang berkapasitas untuk memimpin dengan baik berdasarkan pengalaman dan kedekatannya dengan sejumlah pihak yang berguna untuk melakukan lobi-lobi politik. Dan hasil akhir pada forum tertinggi internal partai warisan orde baru tersebut adalah terpilihnya kandidat yang memang mempunyai presentase lebih di banding calon lain (berdasarkan konteks di atas) untuk memimpin Golkar berdasarkan kekuatan lobi politik, massa dan “dana taktisnya”. Ya, Aburizal Bakrie memang dikenal mempunyai kedekatan emosional dengan SBY yang terjalin saat menjadi Menkokesra.
     Lalu apa relevansinya dengan “di balik kekuasaan pasti ada kepentingan”? terelepas dari kepentingan yang sifatnya general atau konteks per konteks, dan itu memang sebuah kepentingan yang terjadi.
Bila kita lihat sepak terjang Aburizal Bakrie, tanpa menjadi ketua umum partai besar pun namanya akan tetap besar sebagai politisi, mantan menteri, petinggi partai, pengusaha dan tentu saja, salah satu orang terkaya di Indonesia. Namun apa motif kepentingan di balik sikapnya yang maju menjadi ketua umum Golkar?. Selain budaya AMPI, budaya pragmatisasi memang sangat di kenal dan begitu lumrah pada fenomena politik, dan yang berpegangan pada idealisme untuk memajukan partai? Memang ada namun untuk saat ini terlihat hanya menjadi sebatas wacana kampanye dan retorika tanpa terlihat secara signifikan pada implementasinya.
     Sebagai pengusaha yang banyak mempunyai perusahaan maupun anak perusahaan, lelaki yang kerap disapa Ical ini membutuhkan semacam “tameng” atau sebuah sistem yang membekingi kerajaan bisnisnya itu, seperti diketahui beban bea pajak untuk sebuah perusahaan di Indonesia tidaklah sedikit, selain itu dengan kharisma ketokohan yang ia miliki niscaya dapat menguatkan grup Bakrie yang di bangunnya, apalagi untuk masalah lobi politik yang bertendensi dan berelevansi dengan kepentingan perusahaan, masalah marketing, sponsorship hingga merger dan sebagainya adalah sebuah keniscayaan untuk terealisasi dengan mudah berbekal semua itu di tambah pula ia adalah ketua umum partai besar, dan mungkin juga akan ada deal politik, terjadi timbal balik atau bersimbiosis mutualisme. Dan, mungkin itu adalah salah satu di balik banyaknya urgensi di balik sikap politik Ical yang “mau” maju sebagai orang nomor satu di Golkar.
Apakah ada realita yang bahkan terkontradiksi?
     Apabila kita elaborasi lagi, apakah ada budaya non-konserfatif atau modernis dalam sistem politik yang terimplementasi pada konteks yang kita telaah saat ini? Jawabannya sedikit terkesan ambigu, antara ya dan tidak.
     Kurang afdol apabila kita tidak mengkomparasikannya dengan konstelasi terkini partai pemegang otoritas parlemen yang sebentar lagi menggelar kongresnya yang ke-II medio mei nanti.
Seperti yang sudah di wartakan media, Marzuki Alie, Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum adalah tiga kandidat bakal calon yang memang sangat berkapasitas untuk menjadi Demokrat I dan sedang bergerilya untuk mencari berbagai macam bentuk dukungan. Memang dari ketiga calon tadi untuk urusan kampanye di media massa Marzuki Alie terlihat lebih calm down, namun untuk urusan akar rumput dan dukungan dari Cikeas, mereka tak mau kalah, memang peristiwa penutupan rapat paripurna secara sepihak yang di lakukan oleh mantan aktifis PMII ini disesalkan berbagai macam kalangan, namun sebagai ketua DPR yang juga menjadi presidium sidang, ia mempunyai alasan tersendiri untuk mengambil sikap seperti itu, dan itu seperti menjadi kabar baik bagi kubu Demokrat yang pada saat itu seakan sedang terjepit, dan itu juga bisa menjadi pertimbangan bagi Cikeas apalagi ia juga menjadi salah satu elite di DPR. Bagaimana dengan dua kandidat lain Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum yang juga sedang memperebutkan hati SBY?. Budaya konserfatif yang memang masih urgen peranannya untuk di implementasikan karena memang itu seperti sarat mutlak yang harus di lakukan untuk memperebutkan kekuasaan seperti mencari restu kepada tokoh sentral adalah pekara yang lumrah, namun disaat klaim mulai menyeruak bahwa semua kandidat tersebut sudah “direstui” tokoh sentral membuat ambiguitas yang mengernyitkan dahi. Andi Mallarangeng yang juga menjabat sebagai Menegpora sudah terang-terangan merangkul salah satu anggota keluarga SBY yaitu Ibas Yudhoyono sebagai juru kampanye dan tentu saja bersimbiosis untuk mendapatkan jabatan strategis apabila terpilih nanti. Dianggap ikut berandil besar dalam proses membesarkan partai karena tidak memangku jabatan eksekutif – yang notabene cukup memecah konsentrasi, karena kepentingan negara lebih di dahulukan dari pada kepentingan partai dalam jabatan eksekutif – dan lumayan berperan di legislatif (sebagai ketua Fraksi) dalam konteks kepentingan partai dan koalisi membuat nilai plus yang kemudian bermetamorfosis menjadi sebuah statement claim bagi Anas Urbaningrum, apalagi tim sukses mantan ketua PB HMI ini juga mengklaim di dukung oleh sebagian besar DPD dan DPC jawa timur yang notabene salah satu lumbung suara Demokrat pada pemilu lalu. Satu lagi nilai plus bagi Anas adalah apabila budaya konserfatif Jawa-isme bermain cukup menonjol pada kongres nanti yang salah satu acuannya adalah dengan kultur dan sifat wong jowo (nya) yang alon-alon asal kelakon di anggap pas untuk memimpin sebuah partai yang notabene mempunyai peta kekuatan antara koalisi dan oposisi sulit di bedakan ini.
     Kekuasaan yang hanya di dapat dari hubungan darah seperti pada sistem monarki dan berfaktor uang dalam “stratregi perebutan kekuasaan” lewat manufer-m

anufer poltitik yang berlatarbelakang materi atau lobi sepihak terhadap putra mahkota atau famili dan orang penting kerajaan lainnya hingga kekuasaan ala Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan adalah beberapa dinamika budaya konserfatif yang masih berkonsistensi hingga saat ini, biasanya, berdasarkan data empiris, hal seperti ini justru semacam degradasi moral yang berlawanan terhadap demokratisasi dan idealisme keyakinan yang berorientasi pada kemajuan sebuah sistem yang di dapat. Dan, kita hanya bisa terperangah dan berharap bahwa fenomena ini dapat terminimalisir. Cheers..

*Oleh Doni Rao, Mahasiswa Ilmu Politik UNAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar