...

BLOG INI PINDAH KE: doni-rao.blogspot.com

Jumat, 22 Juni 2012

Soekarno vs Musso: Konflik Ideologi atau Politik Kekuasaan?*

 
            Semua orang mafhum tatkala membicarakan polemik Musso dan Soekarno dalam bingkai peristiwa Madiun, tempat dimana bertemunya dua kutub kekuatan ideologis dunia di Indonesia. Keduanya memang mempunyai mentor politik sama yang dianggap sebagai ‘Ratu Adil’ pada masa itu yakni Cokroaminoto. Musso cukup konsisten dengan ideologi Komunis-nya hingga ia mendapat beasiswa di universitas Lenin, juga melanglang buana sampai namanya cukup diperhitungkan di komintern di Uni Soviet. Soekarno menjalankan politik elegan dengan ketokohannya yang masyur, nasionalisme yang kerap bersinggungan dengan ide-ide sosialis pencerahan – kemudian disebut Marhaen – seakan menjadi jawaban relevan terhadap konstelasi pada masa itu.
            Medio 40-an pasca Indonesia merdeka, dunia terbagi menjadi dua kutub yang terbelah secara ideologis, Fasisme yang direpresentasikan oleh negara-negara seperti Jerman, Italia dan Jepang mencoba menginvasi dunia lewat berbagai jalur. Kutub kedua digawangi AS dan Soviet yang berkooperasi ideologis lewat doktrin Dimitrov yang dikeluarkan oleh Komintern (menyatukan kaum Komunis).
            Dampak doktrin Dimitrov yang secara substantif memaklumi kooperasi Komunisme dengan Liberal-Kapitalis untuk melawan musuh bersama yaitu Fasisme akhirnya dibawa Musso ketika datang ke Indonesia. Musso yang merupakan salah satu tokoh yang disegani didunia pergerakan masa itu pun cukup fasih menerapkannya, Indonesia lewat kaum pergerakannya justru bahu membahu dengan Belanda untuk melawan infiltrasi Jepang. Akhirnya setelah dunia mengakui kehebatan dua kolaborator tersebut melawan Fasisme yang dapat dipukul habis muncullah doktrin radikal dari komintern, yaitu doktrin Zdhanov.
            Doktrin Zdhanov yang cenderung radikal yakni menghapus kooperasi dengan kapital-liberalis karena musuh bersama saat itu sudah hancur. Musso pun dengan cepat melakukan putaran 180 derajat. Inilah fenomena komunis yang tidak jauh berbeda dengan demokrasi terpimpinnya Soekarno yang kontoversial itu. Komunis walau bagaimanapun harus “patuh” oleh instruksi komintern yang merupakan wadah tertinggi secara hierarkis.
            Musso mulai bersinggungan dengan Soekarno setelah kabinet Amir Syarifudin jatuh yang kemudian dikritik olehnya lewat konsepsi paradigmatisnya yang terkenal “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Bagi Musso – yang mulai membawa doktrin Zdhanov – lewat Jalan Baru-nya, meletakkan jabatan perdana menteri yang sudah di pegang kaum kiri kepada kaum Nasionalis borjuis (Soekarno-Hatta) adalah sebuah kesalahan besar.
Jalan Baru Musso dan strategi politik-ideologis
            Perspektif Musso yang kemudian distensil puluhan ribu kopi untuk para kader komunis membuktikan bahwa konsepsi tersebut sudah dipikirkan masak-masak. Lewat safari politiknya ia berpidato dengan gaya retorik-demagog yang sanggup menghipnotis massa.
Setelah Amir jatuh akibat perjanjian Renvile, kubu kiri kemudian membentuk poros oposisi kiri yang dinamakan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Lewat FDR inilah kritik terhadap Soekarno dan Hatta yang merepresentasikan kebijakan pemerintah mengemuka, apalagi terhadap Masyumi dan PNI yang jelas-jelas berputar arah lewat manuver politiknya yang semula mendukung Amir dengan perjanjian Renvilenya namun pada akhirnya menyalahkan Amir dan belok mendukung Hatta sebagai perdana Menteri.
Salah satu isi Jalan Baru adalah melebur partai-partai berhaluan Marxis-Sosialis seperti Partai Buruh, Partai Sosialis dan Partai Komunis Indonesia menjadi partai yang memiliki historia panjang secara empirik yakni Partai Komunis Indonesia.
Lewat FDR dan Jalan Baru, Musso mengkritik Soekarno sebagai kolaborator Jepang dan juga sebagai Nasionalis-borjuis yang notabene tidak layak memimpin Indonesia. Indonesia yang dinilai terlalu berpihak kepada Amerika sebagai bargain pengakuan kemerdekaan dianggap telah mencederai estetika kemerdekaan. Dan disinilah embrio konflik keduanya setelah mereka berpisah dari tempat kos Cokroaminoto.
            Soekarno yang menganggap Musso sebagai guru politiknya setelah Marx dan Cokroaminoto itu ternyata terjebak dalam kekalutan dilema keberpihakan antara Amerika dan Soviet. Walaupun ia pernah berpidato dengan kata-kata yang sangat terkenal waktu itu yakni “Amerika kita setrika dan Inggris kita linggis”. Soekarno juga pernah menyindir Amerika dengan “Go to Hell with your aid”. Namun gerakan Non-Blok Soekarno yang dikemudian hari terkenal itu awalnya manjalani jalan yang terjal. Banyak yang mengira bahwa legitimasinya kalah oleh Hatta sebagai perdana menteri yang condong ke Amerika. Rumor yang beredar adalah apa yang disebut dengan marshall plan yang merupakan rencana pembumi hangusan kaum kiri, Indonesia kemudian diberi apa yang kita kenal sebagai Red Drive Proposal sebagai bargain pengakuan kemerdekaan Indonesia yang saat itu sedang di goyang oleh agresi militer Belanda ke II, juga bantuan ekonomi Indonesia yang saat itu sedang krisis hingga perdana menteri Hatta melakukan kebijakan yang ditentang habis-habisan oleh FDR yaitu Reorganisasi-Rasionalisasi (Re-Ra) pada tubuh Tentara Republik Indonesia.
            Di Jalan Barunya, secara implisit Musso mengkritik Re-Ra sebagai taktik pembumi hangusan eksistensi kaum kiri yang memang memiliki laskar-laskar pemuda dan militer yang cukup disegani. Bagi Musso, Hatta dan Soekarno hendak menjual kemerdekaan ini kepada Amerika, sebaliknya pemerintah menilai Musso dan FDR hendak mendirikan negara Negara Soviet di Indonesia lewat Polemik Madiun.
Ik kom hier om orde te scheppen!
            Saat pertemuan yang haru biru antara Soekarno-Musso pada Agustus 1948, Soekarno mengajak Musso untuk turut serta membantu jalannya kemerdekaan Indonesia dari berbagai ancaman, Musso menjawab dengan singkat dengan bahasa Belanda “Ik kom hier om orde te scheppen” (saya datang kesini untuk menciptakan ketertiban). Harry Poeze dalam “Madiun 1948, PKI Bergerak” (2011) mengungkapkan bahwa jawaban itu menunjukkan oportunistis Musso yang ingin menjadi Presiden bila Madiun berhasil direbut.
            Aidit dalam pidato pembelaannya di pengadilan dengan gamblang menyebutkan bahwa Hatta-lah provokator yang bertanggung jawab men-design peristiwa Madiun – yang pada masa Orde Baru di sebut sebagai Pemberontakan Madiun – sehingga PKI dihabisi dari elit sampai akar rumput. Aidit pun menyebut Musso sebagai “komunis patriotis”.
            Amerika pada saat itu memang sedang mengamati perkembangan komunisme yang sangat pesat di Asia (Tenggara), ini yang menjadi dalih utama kaum kiri bahwa Hatta adalah biang keladi Peristiwa Madiun, dan tanpa disadari atau tidak setelah PKI hancur lebur pada 1948, Belanda benar-benar angkat kaki dari Indonesia.
-o0o-
            Hemat saya, Musso dan Soekarno sama-sama mempunyai kepentingan terkait kemerdekaan Indonesia, Soekarno yang terlanjur harum semenjak membacakan teks proklamasi menjadi magnit politik bagi kawan maupun lawannya. Ia pun terjebak dalam permainan polemik ideologis Amerika-Soviet karena Indonesia adalah wilayah seksi untuk diperebutkan, kepentingan Amerika jelas, menghancurkan Hegemoni Komunisme di Asia setelah China dan kemudian Filipina menjadi sarang Komunisme setelah Uni Soviet. Sedang Soviet, memutar taktik bagaimana – setelah Amir jatuh – merebut kembali Republik lewat kader-kader komunis yang militan. Apalagi dari segi peta ideologi Komunisme dan Liberal-Kapitalisme hanya bisa disatukan lewat doktrin Dimitrov dengan musuh bersama Fasis. Namun realitanya berbalik ketika doktrin Zdhanov muncul kepermukaan terkait runtuhnya Fasisme.
Selain itu, keduanya memang mempunyai akar rumput fanatik dari ketokohannya. Kendaraan politik mereka pun merupakan partai-partai besar, PNI dan PKI. Kedua partai tersebut fasih mengkolaborasi eksistensi hegemoni dan dominasi, meminjam Gramsci dalam Teori Hegemoninya, dimana perpaduan antara ideologi yang cenderung soft dengan kekuatan barisan dominasi fisik yang hard, partai-partai tersebut mempunyai barisan paramiliter hingga kepemudaan-mahasiswa yang cukup solid.
Bila kita apriori, kedua tokoh ini pun seperti dijadikan “boneka” ideologis dalam memperebutkan kekuasaan yang sinambung. Amerika melalui Hatta ke Soekarno dan Soviet melalui Komintern ke Musso.
Sejarah akhirnya bicara, mereka sangat antipati hingga akhirnya pecah Peristiwa Madiun pada 18 September 1948. Soekarno “memulainya” dengan pidato tanggal 19 September  1948, dalam pidato yang dipancarkan melalui Radio tersebut ia menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno-Hatta, “Negara kita mau dihancurkan, mari basmi bersama pengacau-pengacau itu!”. Hanya berselang tiga jam, melalui corong Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Soekarno, Musso menyatakan bahwa Soekarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika. “Oleh karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu”.
Dan, akhirnya Musso dipersangkakan sebagai pemberontak dan mati terbunuh dalam tembak menembak dengan tentara pemerintah. Setelah itu giliran Amir Syarifudin, Soeripno dan kawan-kawan lainnya yang dibunuh tanpa diadili.
Setelah keran demokrasi terbuka lebar, banyak yang berpendapat bahwa konflik Musso-Soekarno adalah polemik Madiun yang didalamnya terdapat konflik hebat Amerika-Soviet, Siliwangi-Senopati, dan tentunya Komunisme-Liberal Kapitalisme.


*Oleh: Don Gusti Rao (Disampaikan sebagai pengantar pada agenda diskusi  ‘Kelompok Diskusi 49’. Selasa, 19 Juni 2012, ruang 002 Blok 4 UNAS)

Sumber bacaan:
-          Harry A. Poezze, ”Madiun 1948: PKI Bergerak”. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakart, 2011.
-          Himawan Soetanto, ”Madiun, dari Republik ke Republik”. Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006.
-          Soemarsono, ”Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah”, Transkip & Edit oleh Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa. Jakarta: Hasta Mitra, 2008.
-          Tim Buku Tempo, ” Muso, SI Merah di Simpang Republik”. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011.



Syahrir dan “Gerakan Non-Massif”*


Ulung dalam diplomatisasi, disertai wacana kritis-persuasif untuk mematahkan argumen lawan, membuatnya di kagumi, terutama dalam konstelasi politik negara Republik yang masih hijau.
Kelihaiannya dalam apa yang saya sebut dengan gerakan non-masif itu tidak jarang membuahkan hasil signifikan. Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Menarik, bila kita coba refleksi pada kelas pemikiran pendiri bangsa yang general, dimana beragam kontekstual hasanah perspektif pendiri bangsa bergumul dalam diskursus kebangsaan yang kemudian mempunyai orientasi sama, yaitu menghunus imperialisasi ke akarnya, juga membumi hanguskan jiwa-jiwa kolonialisme dari tanah air.
Syahrir termasuk personal yang progresif revolusioner, walaupun lebih mengutamakan cara-cara diplomatis dan tergolong persuasif iya mempunyai beragam pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar yang progresif. Salah satu yang ia praktekkan di tanah air adalah ketika terjun dalam pergerakan buruh. Ia juga memuat banyak tulisan tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia pun kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Ini yang menarik, hentakan progresif revolusionernya seakan “bias” karena condong dengan wacana diplomatisasi persuasif, walaupun memang revolusioner kaum buruh menjadi generalisasi mengingat agitasi yang elegan seperti diplomatisasi Syahrir yang memang menjadi hal penting.
Saya teringat persentator kelas pergerakan/pemikiran Syahrir (SPPB) yakin Bang Rocky Gerung yang berkata bahwa Syahrir adalah tipe pemikir yang melebihi zamannya, Indonesia dalam konteks kenegaraan belum siap untuk menampung bahkan menerima gagasannya yang futuristik. Perspektif Syahrir yang tertuang dalam diplomasinya yang anti kekerasan, moderat, idealis dan dinamis bagi saya menjadi kelemahan yang kemudian ketika di elaborasi mendalam adalah hasil dari lemahnya pemobilisasian massa yang massif. Ia berbeda dengan Tan Malaka yang nomor satu dalam hal organisir massa yang massif, juga dengan Musso yang lewat pidato dan agitasi yang propagandis mampu mencuci otak-otak manusia yang mendengarnya. Menjadi pertanyaan besar dalam forum lewat Rocky Gerung adalah apakah ada relevansi mendalam dari lemahnya pemobilisasian massa yang massif Syahrir dengan hebatnya diplomasi yang ia perankan? Apakah ia tidak bisa memobilisasi masa yang massif layaknya Tan Malaka atau Musso? Padahal ia – bersama Tan Malaka dan Musso – adalah sama-sama pejuang “kiri” progresif yang menjadi harapan kaum buruh yang tertindas.
Pertanyaan besar yang kemudian menyeruak adalah ketika kita meneropong peta politik kebijakan Komunis Internasional yang (memang) apabila dilihat dari konteks kebijakan fundamental sama dengan mazhab yang di usung Bung Syahrir, yakni sosialisme. Kebijakan tersebut kemudian dikenal dengan nama doktrin Dimitrov medio 40- dan 50-an awal. Substansinya adalah ketika kaum progres kiri berubah haluan menjadi ber-kooperasi dengan kaum imperialis dan kapital-liberalis “tuan tanah” untuk kemudian melawan musuh bersama fasisme yang saat itu sangat hegemonik. Lalu, apakah diplomasi Syahrir – dengan kaum liberal-kapitalis – yang tergolong berhasil adalah efek dari Doktrin Dimitrov yang saat itu di anut oleh kaum komunis di seluruh dunia? Memang secara faham ideologis, PSI yang didirikan Syahrir menentang sistem kenegaraan Uni Soviet yang notabene adalah basis kekuatan Komintern, namun, generalisasi gerakan progresif-revolusioner kiri yang pro kaum buruh dan anti fasisme menjadi substansi objektif Syahrir mengadopsi Doktrin Dimitrov.

*Oleh: Don Gusti Rao
(Paper ini disampaikan pada SPPB Megawati Institute, Rabu, 23 Nov 2011. Juga dimuat pada Buletin IQRA PMII UNAS edisi XII / Mei-Juni 2012)


Selasa, 20 Maret 2012


Prijanto dan Konstelasi DKI 1
Don Gusti Rao1
Dalam bukunya Kenapa Saya Mundur dari Wagub DKI Jakarta yang dinilai sebagai sebuah pembenaran bagi langkah kontroversialnya, Prijanto sebagai orang baru di arena “politik” birokrasi sipil mengurai panjang perbedaan pendapatnya dengan Fauzi Bowo (Foke) selaku Gubernur DKI Jakarta. Mulai dari kemelut PAM Jaya, dugaan korupsi, penetapan pajak warung makan hingga estetika politik dalam ranah harga diri. Klimaksnya pada 25 Desember tahun lalu tatkala ia mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri dengan tembusan ke Gubernur DKI perihal peletakan jabatanya sebagai Wagub.
Tidak diberikannya peran siginifikan untuk membangun kota Jakarta hingga tentang struktur ideal sebagai orang nomor dua yang tidak hanya menjadi bumper  DKI 1, namun juga diharapkan sebagai aktor dalam  finishing touch kebijakan yang dikeluarkan Pemprov. Terlepas dari amatirnya Prijanto sebagai orang baru dalam birokrasi sipil, ini menjadi kecenderungan ketika ia tidak mampu mengambil peran dan menempatkan diri dalam labirin strategis nan seksi yang menjadi magnet ibu kota. Berbeda dengan Jusuf Kalla (JK) yang cukup dapat mengambil peran strategis ketika menjadi orang  nomor dua republik dengan kunjungan populis ke daerah bencana, juga terkadang menyembul dari keijakan mainstream pemerintah yang coba didistorsi menjadi tendensiusitas pada akar rumput (rakyat). Dan ini terbukti ampuh, elektabilitas hingga citra yang ia (JK) dapat menjadi nilai tersendiri, belum lagi manuver ketika menjadi ketua umum Palang Merah Indonesia yang notabene bergerak dibidang sosial kerakyatan, tinggal “duduk manis” menunggu pinangan menuju 2014. Basis massa, citra dan sokongan finansial yang besar sebagai pengusaha terbukti ampuh menggaet PPP sebagai kendaraan politik, dan menjadi isu sentral.
Keputusan kontroversial Prijato sebenarnya sudah terendus berbagai pihak, apalagi ia juga jarang tampil ke publik. Menjadi pertanyaan besar ketika kultur orang nomor dua justru menjadi kompetitor ketika bertarung dengan sang incumbent diarena pilkada selanjutnya. Awam memandangnya sebagai strategi politik Foke menahan laju sang wakil sebagai kompetitor dalam suksesi kedepan, ditambah perbedaan perspektif dalam hal kebijakan, lengkaplah sudah clash tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan DKI adalah ejawantah kue yang “seharusnya” dinikmati bersama, apalagi sebagai pasangan politik.
Wakil yang setengah hati
Keinginannya yang kuat untuk meletakkan kursi DKI 2 ternyata harus dikubur dalam-dalam. Rapat Paripurna DPRD Provinsi DKI Jakarta 6 Maret 2012 menghasilkan keputusan penting, ditolaknya keinginan Prijanto untuk mundur dari Wakil Gubernur DKI Jakarta. Bagaimanapun, ia diharuskan mesra dengan Foke hingga Oktober 2012, setidaknya dihadapan rakyat DKI yang dari awal memberinya amanah sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Konstelasi menuju DKI I semakin menarik, setelah dua balon independen - Hendarji Soepanji-Riza Patria dan Faisal Basri-Biem Benyamin - cukup percaya diri mendeklarasikan sebagai balon, disusul Wanda Hamidah dan Nachrowi Ramli, masih ada nama-nama lain yang foto dan jargonnya masih setia memenuhi sesaknya pemandangan ibu kota. Sebut saja Triwaksana dan Nono Sampono, nama terakhir juga menjadi kompetitor Jokowi dan Prijanto dalam menentukan kendaraan politik lewat PDI Perjuangan. Berita terkini dari menariknya tarik ulur menuju DKI 1 ialah mundurnya Prijanto dari persaingan seleksi di partai oposisi terbesar tersebut (Koran TEMPO, Rabu 7 Maret 2012, hal A4), juga dengan Golkar yang menomorsekiankan Priya Ramadhani dan Tantowi Yahya demi mengusung Alex Noerdin.
Pertanyaan pun menyeruak, bagaimana selanjutnya Prijanto setelah gagal di dua fase? Fase meletakkan jabatannya yang ditolak DPRD pada sidang paripurna dan fase mundurnya ia dari balon yang diusung PDI P. Fase pertama dinilai menjadi fase genting karena ia harus mencoba menyatukan kembali konflik politiknya dengan Foke, minimal menyederhanakannya dan itu tidak mudah. Terkurasnya energi - setidaknya hingga demisioner - membuat terganggunya konsentrasi (bila) menuju DKI 1. Berdasarkan fakta empiris, ia akan sukar setelah pelik mengambil momen dan peran strategis yang baik seperti JK. Proyek kebijakan “kue politik” pun tidak akan menghampirinya dengan stigma negatif pasca menyatakan mengundurkan diri, padahal itu yang dibutuhkan sebagai faktor fundamental dalam pertarungan disaat suksesi nanti. Fase kedua adalah masalah kendaraan politik yang mempunyai relevansi dengan fase pertama tadi. Mundurnya ia dari daftar yang diusung PDI P sebenarnya tidak menimbulkan faktor keuntungan politik dalam bargaining, partai-partai besar punya gacoan sendiri dan ini akan menyulitkan balon independen bila tidak mempunyai modal finansial dan basis massa yang besar.
Magnet sang incumbent
Dalam isu yang beredar dikalangan aktifis, majunya balon independen tidak lepas dari strategi politik incumbent untuk membuka alur basis suara apabila pilkada DKI terjadi dua putaran, walaupun bisa menjadi bumerang karena realitanya Golkar dan Demokrat juga mendelarasikan balonnya. Deklarasi yang lebih awal seakan menjadi gertak politik bagi partai yang mempunyai kursi dibawah 15 untuk mencalonkan balonnya sebagai DKI 1, konsekuensinya jelas, bargaining position untuk mendukung incumbent dengan cara membuat koalisi besar partai menengah untuk menghambat laju partai besar. Skenario tersebut akan teraplikasi pada uji kepatutan dan kelayakan di KPU DKI Jakarta apakah balon tersebut berhasil bermetamorfosa menjadi calon atau tidak. Khusus balon independen, gagalnya menjadi calon sudah pasti bagian dari skenario politik. Dengan adanya kontrak politik, incumbent akan diuntungkan dengan meleburnya kekuatan independen tersebut, ditambah koalisi besar partai menengah.
DKI Jakarta sebagai ibu kota negara masih menjadi magnet luar biasa sebagai ladang politik. Bagi aktor dan partai politik, selalu ada orientasi besar dengan mekanisme yang sinambung, apalagi dengan agenda besar 2014.

(1) Aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jakarta Selatan, Peneliti pada SPPB 2 Megawati Institute.

Rabu, 22 Februari 2012

Para Pemikir Indonesia: Beda Metode, Satu Orientasi 
(Refleksi Clash Ideologi Musso-Soekarno)[1]
Oleh: Don Gusti Rao[2]
Prolog
Plato (427 - 347 SM) dalam hikayat kuno yang menggemparkan, pernah menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu secara serentak, terjadi berbagai letusan gunung berapi yang menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir yang maha dahsyat. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Akibat dari semua itu adalah hilangnya sebuah “dataran surga” nan makmur yang ia sebut sebagai benua Atlantis. Beratus tahun kemudian, hikayat tersebut diadopsi dan diteliti oleh Fisikawan Nuklir dan Geolog dari Brasil Prof. Arsyio Nunes Dos Santos, tak kalah menggemparkan, penelitian tersebut menghasilkan tesis mencengangkan bagi dunia intelektual. Dari hasil penelitian ilmiah yang kemudian dibukukan, ia fasih mengungkapkan bahwa dataran surga yang hilang yang juga pusat peradaban, kemaharajaan dan asal-usul manusia adalah Indonesia, mari lupakan Mesir, Cina, Yunani hingga Mesopotamia. Hasil penelitian tersebut memang tidak sedikit pun mempunyai efek berarti bagi kehidupan dalam konteks ke-Indonesiaan, diskusi ilmiah yang merupakan sinambung dari buku tersebut juga hanya seru pada awal mula, namun output praktis yang dihasilkan juga menjadi bias tatkala kita mencoba membuat analisis dampak dari peristiwa yang menurut Plato adalah kiamat madya tersebut.
Ternyata secara substantif, kekeliruan besar kita yang berfikir bahwa kekayaan Indonesia hanya terletak pada sumber daya alam merupakan momok yang cukup serius untuk menjadi diskursus akademik, analisis Prof Santos – terlepas dari rasionalisasi siapapun – sedikit membuktikan bahwa Inonesia bagaimanapun juga merupakan dunia peradaban yang kemudian ber-evolusi mencari trah peradaban yang di rasuki oleh pemikiran para tokohnya dengan tinjauan idealisme, mencoba mencari pembenaran dari Prof Santos bahwa secara historis, orang-orang Indonesia yang dianggap pelacur memalukan bagi kaum imperialis mempunyai darah peradaban yang ratusan tahun kemudian melahirkan para pemikir handal yang bisa saja membuat kita berfikir bahwa Indonesia sedang ingin mengembalikan Atlantis versi Plato kerumahnya. Jangan heran ketika saat Indonesia gencar mencari sinar kemerdekaan, aroma Atlantis dengan peradaban dan asal muasal mahluk berakalnya dipancarkan oleh tokoh-tokoh Indonesia lewat fikiran, gerakan, dan diplomasinya. Mereka seakan ingin membuktikan bahwa Indonesia adalah Atlantis yang hilang.
Indonesia pasca Atlantis
          Mafhum ketika dalam diskursus akademik ilmu-ilmu sosial, menelaah terminologi politik dari ujung kiri sampai kanan yang terpetakan menjadi ideologi dari berbagai metode hingga orientasi. Perang ideologi yang berkontinuasi menjadi medan laga personal adalah efek mainstream dari digdaya ideologi yang dibawa oleh embrio perspektif, kepentingan ideal dan praktis.
           Indonesia yang memang harus tabah menerima takdir ketika dalam realitanya diinfiltrasi oleh tindakan monopolistik imperialisme, tanpa disadari melahirkan kisah-kisah heroik etno-nasionalisme kedaerahan. Etno-nasionalisme inilah yang menjadi tonggak awal terhimpunnya ide-ide ingin bebas dan mandiri menjadi negara yang utuh, disana perlukan perjuangan, fikiran, gerakan dan berbagai diplomasi yang relevan. Disamping itu putra-putri terbaik bangsa yang memperoleh pendidikan layak di banding pribumi lain juga menjadi sumbangan terbesar kemerdekaan. Seakan menjadi bumerang bagi sang imperialis, yang dulu memberi kelonggaran bagi mereka untuk belajar, dikemudian hari bergerak melawan dengan berbagai mekanisme yang punya satu tujuan, Indonesia merdeka.
Negara madya, fundamen pemikran
            Polemik dan titik cerah itu bermula dari rumah bercat putih di Jalan Peneleh VII Nomor 29 dan 31 Surabaya. Rumah tersebut adalah milik “bapak diantara bapak bangsa“ Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Seperti diketahui bersama, rumah tersebut dihuni orang-orang yang dikemudian hari mempunyai andil besar dalam pembentukan Republik Indonesia, mereka yang indekos disana adalah tokoh-tokoh yang mempunyai akar rumput massif di masa jayanya, sebut saja Soekarno, Musso, Alimin, Semaoen, dan Kartosoewirjo.
            Bergunul dalam ide disertai diskusi hangat penuh suka cita menjadi makanan hari hari mereka, juga pembelajaran politik dalam lingkup gerakan dan cakupan ideologi oleh sang mentor politik Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sebagai mana disebutkandalam literatur tidak begitu tendensius dalam memetakan ideologi bagi para anak muda binaanya, terbukti mereka akhirnya mengambil jalan sendiri-sendiri, Soekarno dengan ideologi Nasionalis-nya[3], trio Musso-Alimin-Semaoen dengan semangat Komunisme, dan Kartosoewirjo dengan Islamisme-nya.
            Mereka merepresentasikan pemikiran Tjokro dari apa yang mereka yakini, kemudian merasa benar secara pemikiran dan terapan. Hingga kemudian hari Tjokro tidak melihat bagaimana murid-muridnya itu “saling bunuh” untuk mebuka jalan fikirannya demi apa yang mereka maksudkan dengan negara ideal versi ideologi yang mereka anggap rasional.
            Papper ini mencoba menganalisis betapa menariknya pertarungan ideologi yang diperankan oleh dua tokoh seperguruan Soekarno dan Musso, pertarungan dua ideologi besar di Indonesia yang mempunyai massa fanatik selain golongan agama, yaitu Komunis dan Nasionalis. Pergesekan keduanya menjadi klimaks ketika terjadi peristiwa Madiun, peristiwa yang menghancurkan puja puji di antara keduanya setelah hampir tiga dasawarsa tidak bertemu dan saling membunuh dengan pidato demagogis tiga puluh hari kemudian lewat corong radio. Peristiwa yang memang masih menjadi misteri hingga detik ini digambarkan sebagai awal keretakan para murid-murid Tjokroaminoto, setelah itu, beberapa tahun kemudian Soekarno yang clash dengan Kartosoewirjo.
            Konflik itu (secara personal Musso-Soekarno) dihembuskan Soekarno ketika mendengar bahwa Musso memberontak dan hendak mendirikan negara Soviet Madiun dengan Musso sebagai presidennya. Dalam pidatonya di RRI Jogjakarta, Soekarno menyudutkan Musso sebagai agen Moskow yang hendak mendirikan negara Soviet Madiun, “negara kita hendak dihancurkan. Mari basmi pengacau-pengacau itu”, lalu diikuti dengan pilihan untuk memilih Soekarno-Hatta atau Musso dengan PKI nya. Mereka saling mencaci, membunuh dengan kata-kata. Tiga jam berselang melalui Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Soekarno dengan menyatakan bahwa Soekarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika. “Oleh karena itu, rakyat Madiun dan daerah-daerah lain harus melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu”.
         Masih tendensiusnya sejarah yang diartikan oleh para sejarawan dengan  latar belakang tertentu membuat peristiwa ini menjadi ceritera yang penuh ambiguitas. Setidaknya ada dua pengarang buku yang saling bersinggungan lewat karya-karyanya, Rebut Kembali Madiun dan Madiun, dari Republik ke Republik karya Himawan Soetanto yang begitu banyak dijadikan referensi dari konflik Musso-Soekarno dalam bingkai peristiwa Madiun dinilai sebagai representasi versi pemerintah dalam menyikapi peristiwa tersebut. Sebagai mana diketahui, Himawan Soetanto adalah Purnawirawan Letnan Jenderal yang turut serta merasakan pekiknya kemelut yang bersejarah tersebut. Ada juga buku Revolusi Agustus nya Soemarsono yang memang terlihat sebagai kepanjang-tanganan PKI dalam menyikapi peristiwa Madiun dan konflik Musso-Soekarno ini.
            Perbedaan mendasar dari dua tokoh besar ini sebenarnya tidak terlalu mencolok, ke duanya adalah retorik handal, demagog dan agitator yang mampu membangkitkan emosi massa, bagi saya, jiwa-jiwa oportunistis yang ia perankan dalam kasus Moskow-kesepakatan Prambanan  hingga peristiwa Madiun cukup membuktikan oportunistis tokoh tersebut. Orientasi besar menjadikan negara Indonesia sebagai negara sejahtera adalah kesamaan para tokoh bangsa, tak terkecuali Musso-Soekarno, namun itu tadi, perbedaan ideologi yang menjadikannya berseberangan mekanisme namun satu orientasi untuk mempertahankan kemerdekaan menjadikannya saling hantam. Ironis memang, karena tatkala keduanya bersatu padu untuk mengisi relung kemerdekaan, akan banyak nilai plus yang didapat negara ini dari dua tokoh yang banyak mempunyai massa hingga akar rumput. Sebagaimana ketika ditanya oleh Soekarno untuk berperan aktif dalam kemerdekaan Indonesia, Musso menjawab singkat: Ik kom hier om orde to scheppen.
Dampak bagi bangsa
          Peristiwa Madiun yang merupakan awal perselisihan keduanya kemudian menggurita menjadi stigma yang amat kejam bagi kaum komunis, mereka dibasmi dengan cara-cara tidak manusiawi, di asosiasikan oleh kelompok agamais sebagai sekelompok manusia tidak bertuhan, dan pengkhianat bangsa bagi kaum nasionalis.
           Bentrok keduanya pun menjadi kerugian besar bagi Indonesia yang kemudian mendapat agresi militer dari Belanda medio akhir 1948, konflik Musso-Soekarno pun tanpa disadari menjadi pemicu utama disintegrasi bangsa. Kaum simpatisan buruh tani yang sangat fanatik kepada agitasi egalitarian komunis, kemudian dibasmi dan dikenai sangsi sosial. Fenomena tersebut berdampak pada adanya dikotomi parsial dalam kelompok masyarakat.
         Musso-soekarno juga mewarisi perang seru dalam peta ideologi, karena bagaimanapun, NASAKOM yang dicita-citakan Soekarno tidak akan mengena dengan dalih apapun. Begitu kejamnya ideologi yang digambarkan dari banyaknya korban dalam suatu clash, membuktikan bahwa bagaimanapun ideologi adalah tonggak fondasi yang tersekat dalam bingkai kenegaraan.

 Sumber bacaan:
-     - Harry A. Poezze, ”Madiun 1948: PKI Bergerak”. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakarta, 2011.
-          -  Himawan Soetanto, ”Madiun, dari Republik ke Republik”. Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006.
-       -Soemarsono, ”Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah”, Transkip & Edit oleh Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa. Jakarta: Hasta Mitra, 2008.
-     - Tim Buku Tempo, ” Muso, SI Merah di Simpang Republik”. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2011.



[1] Disampaikan sebagai pengantar diskusi pada kelas Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB) Megawati Institute. Kamis, 16 Februari 2012.
[2] Mahasiswa Ilmu Politik UNAS, Aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jakarta Selatan, Siswa SPPB Megawati Institute.
[3] Yang kemudian bersinggungan dengan semangat sosialisme melahirkan apa yang ia sebut sebagai Marhaenisme atau ada yang menyebutnya dengan Soekarnoisme berdasarkan perspektif kekinian.