Para
Pemikir Indonesia: Beda Metode, Satu Orientasi
(Refleksi Clash Ideologi
Musso-Soekarno)[1]
Oleh:
Don Gusti Rao[2]
Prolog
Plato (427 - 347 SM) dalam hikayat kuno yang
menggemparkan, pernah menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu secara serentak,
terjadi berbagai letusan gunung berapi yang menimbulkan gempa, pencairan es,
dan banjir yang maha dahsyat. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan
bumi tenggelam. Akibat dari semua itu adalah hilangnya sebuah “dataran surga”
nan makmur yang ia sebut sebagai benua Atlantis. Beratus tahun kemudian, hikayat
tersebut diadopsi dan diteliti oleh Fisikawan Nuklir dan Geolog dari Brasil Prof.
Arsyio Nunes Dos Santos, tak kalah menggemparkan, penelitian tersebut
menghasilkan tesis mencengangkan bagi dunia intelektual. Dari hasil penelitian
ilmiah yang kemudian dibukukan, ia fasih mengungkapkan bahwa dataran surga yang
hilang yang juga pusat peradaban, kemaharajaan dan asal-usul manusia adalah
Indonesia, mari lupakan Mesir, Cina, Yunani hingga Mesopotamia. Hasil
penelitian tersebut memang tidak sedikit pun mempunyai efek berarti bagi
kehidupan dalam konteks ke-Indonesiaan, diskusi ilmiah yang merupakan sinambung
dari buku tersebut juga hanya seru pada awal mula, namun output praktis yang dihasilkan juga menjadi bias tatkala kita
mencoba membuat analisis dampak dari peristiwa yang menurut Plato adalah kiamat
madya tersebut.
Ternyata secara substantif, kekeliruan besar kita
yang berfikir bahwa kekayaan Indonesia hanya terletak pada sumber daya alam
merupakan momok yang cukup serius untuk menjadi diskursus akademik, analisis
Prof Santos – terlepas dari rasionalisasi siapapun – sedikit membuktikan bahwa
Inonesia bagaimanapun juga merupakan dunia peradaban yang kemudian ber-evolusi
mencari trah peradaban yang di rasuki oleh pemikiran para tokohnya dengan
tinjauan idealisme, mencoba mencari pembenaran dari Prof Santos bahwa secara
historis, orang-orang Indonesia yang dianggap pelacur memalukan bagi kaum
imperialis mempunyai darah peradaban yang ratusan tahun kemudian melahirkan
para pemikir handal yang bisa saja membuat kita berfikir bahwa Indonesia sedang
ingin mengembalikan Atlantis versi Plato kerumahnya. Jangan heran ketika saat
Indonesia gencar mencari sinar kemerdekaan, aroma Atlantis dengan peradaban dan
asal muasal mahluk berakalnya dipancarkan oleh tokoh-tokoh Indonesia lewat
fikiran, gerakan, dan diplomasinya. Mereka seakan ingin membuktikan bahwa
Indonesia adalah Atlantis yang hilang.
Indonesia pasca
Atlantis
Mafhum ketika dalam diskursus
akademik ilmu-ilmu sosial, menelaah terminologi politik dari ujung kiri sampai
kanan yang terpetakan menjadi ideologi dari berbagai metode hingga orientasi. Perang
ideologi yang berkontinuasi menjadi medan laga personal adalah efek mainstream dari
digdaya ideologi yang dibawa oleh embrio perspektif, kepentingan ideal dan
praktis.
Indonesia yang memang harus tabah
menerima takdir ketika dalam realitanya diinfiltrasi oleh tindakan monopolistik
imperialisme, tanpa disadari melahirkan kisah-kisah heroik etno-nasionalisme
kedaerahan. Etno-nasionalisme inilah yang menjadi tonggak awal terhimpunnya
ide-ide ingin bebas dan mandiri menjadi negara yang utuh, disana perlukan
perjuangan, fikiran, gerakan dan berbagai diplomasi yang relevan. Disamping itu
putra-putri terbaik bangsa yang memperoleh pendidikan layak di banding pribumi
lain juga menjadi sumbangan terbesar kemerdekaan. Seakan menjadi bumerang bagi
sang imperialis, yang dulu memberi kelonggaran bagi mereka untuk belajar,
dikemudian hari bergerak melawan dengan berbagai mekanisme yang punya satu
tujuan, Indonesia merdeka.
Negara madya, fundamen
pemikran
Polemik
dan titik cerah itu bermula dari rumah bercat putih di Jalan Peneleh VII Nomor
29 dan 31 Surabaya. Rumah tersebut adalah milik “bapak diantara bapak bangsa“ Haji
Oemar Said Tjokroaminoto. Seperti diketahui bersama, rumah tersebut dihuni
orang-orang yang dikemudian hari mempunyai andil besar dalam pembentukan Republik
Indonesia, mereka yang indekos disana adalah tokoh-tokoh yang mempunyai akar
rumput massif di masa jayanya, sebut saja Soekarno, Musso, Alimin, Semaoen, dan
Kartosoewirjo.
Bergunul
dalam ide disertai diskusi hangat penuh suka cita menjadi makanan hari hari
mereka, juga pembelajaran politik dalam lingkup gerakan dan cakupan ideologi
oleh sang mentor politik Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sebagai mana
disebutkandalam literatur tidak begitu tendensius dalam memetakan ideologi bagi
para anak muda binaanya, terbukti mereka akhirnya mengambil jalan
sendiri-sendiri, Soekarno dengan ideologi Nasionalis-nya[3],
trio Musso-Alimin-Semaoen dengan semangat Komunisme, dan Kartosoewirjo dengan
Islamisme-nya.
Mereka
merepresentasikan pemikiran Tjokro dari apa yang mereka yakini, kemudian merasa
benar secara pemikiran dan terapan. Hingga kemudian hari Tjokro tidak melihat
bagaimana murid-muridnya itu “saling bunuh” untuk mebuka jalan fikirannya demi
apa yang mereka maksudkan dengan negara ideal versi ideologi yang mereka anggap
rasional.
Papper
ini mencoba menganalisis betapa menariknya pertarungan ideologi yang diperankan
oleh dua tokoh seperguruan Soekarno dan Musso, pertarungan dua ideologi besar
di Indonesia yang mempunyai massa fanatik selain golongan agama, yaitu Komunis
dan Nasionalis. Pergesekan keduanya menjadi klimaks ketika terjadi peristiwa
Madiun, peristiwa yang menghancurkan puja puji di antara keduanya setelah
hampir tiga dasawarsa tidak bertemu dan saling membunuh dengan pidato demagogis
tiga puluh hari kemudian lewat corong radio. Peristiwa yang memang masih menjadi
misteri hingga detik ini digambarkan sebagai awal keretakan para murid-murid
Tjokroaminoto, setelah itu, beberapa tahun kemudian Soekarno yang clash dengan Kartosoewirjo.
Konflik itu (secara personal
Musso-Soekarno) dihembuskan Soekarno ketika mendengar bahwa Musso memberontak
dan hendak mendirikan negara Soviet Madiun dengan Musso sebagai presidennya. Dalam
pidatonya di RRI Jogjakarta, Soekarno menyudutkan Musso sebagai agen Moskow
yang hendak mendirikan negara Soviet Madiun, “negara kita hendak dihancurkan.
Mari basmi pengacau-pengacau itu”, lalu diikuti dengan pilihan untuk memilih
Soekarno-Hatta atau Musso dengan PKI nya. Mereka saling mencaci, membunuh
dengan kata-kata. Tiga jam berselang melalui Radio Gelora Pemuda, Musso
membalas pidato Soekarno dengan menyatakan bahwa Soekarno-Hatta hendak menjual
Indonesia kepada imperialis Amerika. “Oleh karena itu, rakyat Madiun dan
daerah-daerah lain harus melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu”.
Masih tendensiusnya sejarah yang
diartikan oleh para sejarawan dengan
latar belakang tertentu membuat peristiwa ini menjadi ceritera yang
penuh ambiguitas. Setidaknya ada dua pengarang buku yang saling bersinggungan
lewat karya-karyanya, Rebut Kembali
Madiun dan Madiun, dari Republik ke
Republik karya Himawan Soetanto yang begitu banyak dijadikan referensi dari
konflik Musso-Soekarno dalam bingkai peristiwa Madiun dinilai sebagai
representasi versi pemerintah dalam menyikapi peristiwa tersebut. Sebagai mana
diketahui, Himawan Soetanto adalah Purnawirawan Letnan Jenderal yang turut
serta merasakan pekiknya kemelut yang bersejarah tersebut. Ada juga buku Revolusi Agustus nya Soemarsono yang
memang terlihat sebagai kepanjang-tanganan PKI dalam menyikapi peristiwa Madiun
dan konflik Musso-Soekarno ini.
Perbedaan mendasar dari dua tokoh
besar ini sebenarnya tidak terlalu mencolok, ke duanya adalah retorik handal,
demagog dan agitator yang mampu membangkitkan emosi massa, bagi saya, jiwa-jiwa
oportunistis yang ia perankan dalam kasus Moskow-kesepakatan Prambanan hingga peristiwa Madiun cukup membuktikan
oportunistis tokoh tersebut. Orientasi besar menjadikan negara Indonesia sebagai
negara sejahtera adalah kesamaan para tokoh bangsa, tak terkecuali
Musso-Soekarno, namun itu tadi, perbedaan ideologi yang menjadikannya berseberangan
mekanisme namun satu orientasi untuk mempertahankan kemerdekaan menjadikannya
saling hantam. Ironis memang, karena tatkala keduanya bersatu padu untuk
mengisi relung kemerdekaan, akan banyak nilai plus yang didapat negara ini dari
dua tokoh yang banyak mempunyai massa hingga akar rumput. Sebagaimana ketika
ditanya oleh Soekarno untuk berperan aktif dalam kemerdekaan Indonesia, Musso
menjawab singkat: Ik kom hier om orde to
scheppen.
Dampak bagi bangsa
Peristiwa Madiun yang merupakan awal
perselisihan keduanya kemudian menggurita menjadi stigma yang amat kejam bagi
kaum komunis, mereka dibasmi dengan cara-cara tidak manusiawi, di asosiasikan
oleh kelompok agamais sebagai sekelompok manusia tidak bertuhan, dan pengkhianat
bangsa bagi kaum nasionalis.
Bentrok keduanya pun menjadi
kerugian besar bagi Indonesia yang kemudian mendapat agresi militer dari
Belanda medio akhir 1948, konflik Musso-Soekarno pun tanpa disadari menjadi
pemicu utama disintegrasi bangsa. Kaum simpatisan buruh tani yang sangat
fanatik kepada agitasi egalitarian komunis, kemudian dibasmi dan dikenai sangsi
sosial. Fenomena tersebut berdampak pada adanya dikotomi parsial dalam kelompok
masyarakat.
Musso-soekarno juga mewarisi perang
seru dalam peta ideologi, karena bagaimanapun, NASAKOM yang dicita-citakan
Soekarno tidak akan mengena dengan dalih apapun. Begitu kejamnya ideologi yang
digambarkan dari banyaknya korban dalam suatu clash, membuktikan bahwa bagaimanapun ideologi adalah tonggak
fondasi yang tersekat dalam bingkai kenegaraan.
- - Harry A.
Poezze, ”Madiun 1948: PKI Bergerak”. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia;
KITLV-Jakarta, 2011.
- - Himawan
Soetanto, ”Madiun, dari Republik ke Republik”. Jakarta: Kata Hasta Pustaka,
2006.
- -Soemarsono,
”Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah”, Transkip & Edit oleh
Komisi Tulisan Soemarsono, Eropa. Jakarta: Hasta Mitra, 2008.
- - Tim Buku
Tempo, ” Muso, SI Merah di Simpang Republik”. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG), 2011.
[1] Disampaikan sebagai pengantar
diskusi pada kelas Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB) Megawati Institute.
Kamis, 16 Februari 2012.
[2] Mahasiswa Ilmu Politik UNAS,
Aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jakarta Selatan, Siswa SPPB
Megawati Institute.
[3] Yang kemudian bersinggungan
dengan semangat sosialisme melahirkan apa yang ia sebut sebagai Marhaenisme
atau ada yang menyebutnya dengan Soekarnoisme berdasarkan perspektif kekinian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar