...

BLOG INI PINDAH KE: doni-rao.blogspot.com

Selasa, 20 Maret 2012


Prijanto dan Konstelasi DKI 1
Don Gusti Rao1
Dalam bukunya Kenapa Saya Mundur dari Wagub DKI Jakarta yang dinilai sebagai sebuah pembenaran bagi langkah kontroversialnya, Prijanto sebagai orang baru di arena “politik” birokrasi sipil mengurai panjang perbedaan pendapatnya dengan Fauzi Bowo (Foke) selaku Gubernur DKI Jakarta. Mulai dari kemelut PAM Jaya, dugaan korupsi, penetapan pajak warung makan hingga estetika politik dalam ranah harga diri. Klimaksnya pada 25 Desember tahun lalu tatkala ia mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri dengan tembusan ke Gubernur DKI perihal peletakan jabatanya sebagai Wagub.
Tidak diberikannya peran siginifikan untuk membangun kota Jakarta hingga tentang struktur ideal sebagai orang nomor dua yang tidak hanya menjadi bumper  DKI 1, namun juga diharapkan sebagai aktor dalam  finishing touch kebijakan yang dikeluarkan Pemprov. Terlepas dari amatirnya Prijanto sebagai orang baru dalam birokrasi sipil, ini menjadi kecenderungan ketika ia tidak mampu mengambil peran dan menempatkan diri dalam labirin strategis nan seksi yang menjadi magnet ibu kota. Berbeda dengan Jusuf Kalla (JK) yang cukup dapat mengambil peran strategis ketika menjadi orang  nomor dua republik dengan kunjungan populis ke daerah bencana, juga terkadang menyembul dari keijakan mainstream pemerintah yang coba didistorsi menjadi tendensiusitas pada akar rumput (rakyat). Dan ini terbukti ampuh, elektabilitas hingga citra yang ia (JK) dapat menjadi nilai tersendiri, belum lagi manuver ketika menjadi ketua umum Palang Merah Indonesia yang notabene bergerak dibidang sosial kerakyatan, tinggal “duduk manis” menunggu pinangan menuju 2014. Basis massa, citra dan sokongan finansial yang besar sebagai pengusaha terbukti ampuh menggaet PPP sebagai kendaraan politik, dan menjadi isu sentral.
Keputusan kontroversial Prijato sebenarnya sudah terendus berbagai pihak, apalagi ia juga jarang tampil ke publik. Menjadi pertanyaan besar ketika kultur orang nomor dua justru menjadi kompetitor ketika bertarung dengan sang incumbent diarena pilkada selanjutnya. Awam memandangnya sebagai strategi politik Foke menahan laju sang wakil sebagai kompetitor dalam suksesi kedepan, ditambah perbedaan perspektif dalam hal kebijakan, lengkaplah sudah clash tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan DKI adalah ejawantah kue yang “seharusnya” dinikmati bersama, apalagi sebagai pasangan politik.
Wakil yang setengah hati
Keinginannya yang kuat untuk meletakkan kursi DKI 2 ternyata harus dikubur dalam-dalam. Rapat Paripurna DPRD Provinsi DKI Jakarta 6 Maret 2012 menghasilkan keputusan penting, ditolaknya keinginan Prijanto untuk mundur dari Wakil Gubernur DKI Jakarta. Bagaimanapun, ia diharuskan mesra dengan Foke hingga Oktober 2012, setidaknya dihadapan rakyat DKI yang dari awal memberinya amanah sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Konstelasi menuju DKI I semakin menarik, setelah dua balon independen - Hendarji Soepanji-Riza Patria dan Faisal Basri-Biem Benyamin - cukup percaya diri mendeklarasikan sebagai balon, disusul Wanda Hamidah dan Nachrowi Ramli, masih ada nama-nama lain yang foto dan jargonnya masih setia memenuhi sesaknya pemandangan ibu kota. Sebut saja Triwaksana dan Nono Sampono, nama terakhir juga menjadi kompetitor Jokowi dan Prijanto dalam menentukan kendaraan politik lewat PDI Perjuangan. Berita terkini dari menariknya tarik ulur menuju DKI 1 ialah mundurnya Prijanto dari persaingan seleksi di partai oposisi terbesar tersebut (Koran TEMPO, Rabu 7 Maret 2012, hal A4), juga dengan Golkar yang menomorsekiankan Priya Ramadhani dan Tantowi Yahya demi mengusung Alex Noerdin.
Pertanyaan pun menyeruak, bagaimana selanjutnya Prijanto setelah gagal di dua fase? Fase meletakkan jabatannya yang ditolak DPRD pada sidang paripurna dan fase mundurnya ia dari balon yang diusung PDI P. Fase pertama dinilai menjadi fase genting karena ia harus mencoba menyatukan kembali konflik politiknya dengan Foke, minimal menyederhanakannya dan itu tidak mudah. Terkurasnya energi - setidaknya hingga demisioner - membuat terganggunya konsentrasi (bila) menuju DKI 1. Berdasarkan fakta empiris, ia akan sukar setelah pelik mengambil momen dan peran strategis yang baik seperti JK. Proyek kebijakan “kue politik” pun tidak akan menghampirinya dengan stigma negatif pasca menyatakan mengundurkan diri, padahal itu yang dibutuhkan sebagai faktor fundamental dalam pertarungan disaat suksesi nanti. Fase kedua adalah masalah kendaraan politik yang mempunyai relevansi dengan fase pertama tadi. Mundurnya ia dari daftar yang diusung PDI P sebenarnya tidak menimbulkan faktor keuntungan politik dalam bargaining, partai-partai besar punya gacoan sendiri dan ini akan menyulitkan balon independen bila tidak mempunyai modal finansial dan basis massa yang besar.
Magnet sang incumbent
Dalam isu yang beredar dikalangan aktifis, majunya balon independen tidak lepas dari strategi politik incumbent untuk membuka alur basis suara apabila pilkada DKI terjadi dua putaran, walaupun bisa menjadi bumerang karena realitanya Golkar dan Demokrat juga mendelarasikan balonnya. Deklarasi yang lebih awal seakan menjadi gertak politik bagi partai yang mempunyai kursi dibawah 15 untuk mencalonkan balonnya sebagai DKI 1, konsekuensinya jelas, bargaining position untuk mendukung incumbent dengan cara membuat koalisi besar partai menengah untuk menghambat laju partai besar. Skenario tersebut akan teraplikasi pada uji kepatutan dan kelayakan di KPU DKI Jakarta apakah balon tersebut berhasil bermetamorfosa menjadi calon atau tidak. Khusus balon independen, gagalnya menjadi calon sudah pasti bagian dari skenario politik. Dengan adanya kontrak politik, incumbent akan diuntungkan dengan meleburnya kekuatan independen tersebut, ditambah koalisi besar partai menengah.
DKI Jakarta sebagai ibu kota negara masih menjadi magnet luar biasa sebagai ladang politik. Bagi aktor dan partai politik, selalu ada orientasi besar dengan mekanisme yang sinambung, apalagi dengan agenda besar 2014.

(1) Aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jakarta Selatan, Peneliti pada SPPB 2 Megawati Institute.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar