...

BLOG INI PINDAH KE: doni-rao.blogspot.com

Jumat, 22 Juni 2012

Syahrir dan “Gerakan Non-Massif”*


Ulung dalam diplomatisasi, disertai wacana kritis-persuasif untuk mematahkan argumen lawan, membuatnya di kagumi, terutama dalam konstelasi politik negara Republik yang masih hijau.
Kelihaiannya dalam apa yang saya sebut dengan gerakan non-masif itu tidak jarang membuahkan hasil signifikan. Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Menarik, bila kita coba refleksi pada kelas pemikiran pendiri bangsa yang general, dimana beragam kontekstual hasanah perspektif pendiri bangsa bergumul dalam diskursus kebangsaan yang kemudian mempunyai orientasi sama, yaitu menghunus imperialisasi ke akarnya, juga membumi hanguskan jiwa-jiwa kolonialisme dari tanah air.
Syahrir termasuk personal yang progresif revolusioner, walaupun lebih mengutamakan cara-cara diplomatis dan tergolong persuasif iya mempunyai beragam pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar yang progresif. Salah satu yang ia praktekkan di tanah air adalah ketika terjun dalam pergerakan buruh. Ia juga memuat banyak tulisan tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia pun kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Ini yang menarik, hentakan progresif revolusionernya seakan “bias” karena condong dengan wacana diplomatisasi persuasif, walaupun memang revolusioner kaum buruh menjadi generalisasi mengingat agitasi yang elegan seperti diplomatisasi Syahrir yang memang menjadi hal penting.
Saya teringat persentator kelas pergerakan/pemikiran Syahrir (SPPB) yakin Bang Rocky Gerung yang berkata bahwa Syahrir adalah tipe pemikir yang melebihi zamannya, Indonesia dalam konteks kenegaraan belum siap untuk menampung bahkan menerima gagasannya yang futuristik. Perspektif Syahrir yang tertuang dalam diplomasinya yang anti kekerasan, moderat, idealis dan dinamis bagi saya menjadi kelemahan yang kemudian ketika di elaborasi mendalam adalah hasil dari lemahnya pemobilisasian massa yang massif. Ia berbeda dengan Tan Malaka yang nomor satu dalam hal organisir massa yang massif, juga dengan Musso yang lewat pidato dan agitasi yang propagandis mampu mencuci otak-otak manusia yang mendengarnya. Menjadi pertanyaan besar dalam forum lewat Rocky Gerung adalah apakah ada relevansi mendalam dari lemahnya pemobilisasian massa yang massif Syahrir dengan hebatnya diplomasi yang ia perankan? Apakah ia tidak bisa memobilisasi masa yang massif layaknya Tan Malaka atau Musso? Padahal ia – bersama Tan Malaka dan Musso – adalah sama-sama pejuang “kiri” progresif yang menjadi harapan kaum buruh yang tertindas.
Pertanyaan besar yang kemudian menyeruak adalah ketika kita meneropong peta politik kebijakan Komunis Internasional yang (memang) apabila dilihat dari konteks kebijakan fundamental sama dengan mazhab yang di usung Bung Syahrir, yakni sosialisme. Kebijakan tersebut kemudian dikenal dengan nama doktrin Dimitrov medio 40- dan 50-an awal. Substansinya adalah ketika kaum progres kiri berubah haluan menjadi ber-kooperasi dengan kaum imperialis dan kapital-liberalis “tuan tanah” untuk kemudian melawan musuh bersama fasisme yang saat itu sangat hegemonik. Lalu, apakah diplomasi Syahrir – dengan kaum liberal-kapitalis – yang tergolong berhasil adalah efek dari Doktrin Dimitrov yang saat itu di anut oleh kaum komunis di seluruh dunia? Memang secara faham ideologis, PSI yang didirikan Syahrir menentang sistem kenegaraan Uni Soviet yang notabene adalah basis kekuatan Komintern, namun, generalisasi gerakan progresif-revolusioner kiri yang pro kaum buruh dan anti fasisme menjadi substansi objektif Syahrir mengadopsi Doktrin Dimitrov.

*Oleh: Don Gusti Rao
(Paper ini disampaikan pada SPPB Megawati Institute, Rabu, 23 Nov 2011. Juga dimuat pada Buletin IQRA PMII UNAS edisi XII / Mei-Juni 2012)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar