Ulung
dalam diplomatisasi, disertai wacana kritis-persuasif untuk mematahkan argumen
lawan, membuatnya di kagumi, terutama dalam konstelasi politik negara Republik
yang masih hijau.
Kelihaiannya
dalam apa yang saya sebut dengan gerakan non-masif itu tidak jarang membuahkan
hasil signifikan. Pada 14 Agustus 1947 Syahrir
berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para
wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa
yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial.
Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah
disampaikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan
itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang
memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur,
sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian
Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Menarik, bila kita coba refleksi pada kelas pemikiran
pendiri bangsa yang general, dimana beragam kontekstual hasanah perspektif
pendiri bangsa bergumul dalam diskursus kebangsaan yang kemudian mempunyai
orientasi sama, yaitu menghunus imperialisasi ke akarnya, juga membumi
hanguskan jiwa-jiwa kolonialisme dari tanah air.
Syahrir termasuk personal yang progresif
revolusioner, walaupun lebih mengutamakan cara-cara diplomatis dan tergolong
persuasif iya mempunyai beragam pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia
proletar yang progresif. Salah satu yang ia praktekkan di tanah air adalah
ketika terjun dalam pergerakan buruh. Ia juga memuat banyak tulisan tentang
perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia
pun kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir didaulat
menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Ini yang menarik, hentakan progresif revolusionernya
seakan “bias” karena condong dengan wacana diplomatisasi persuasif, walaupun
memang revolusioner kaum buruh menjadi generalisasi mengingat agitasi yang
elegan seperti diplomatisasi Syahrir yang memang menjadi hal penting.
Saya teringat persentator kelas pergerakan/pemikiran
Syahrir (SPPB) yakin Bang Rocky
Gerung yang berkata bahwa Syahrir adalah tipe pemikir yang melebihi zamannya,
Indonesia dalam konteks kenegaraan belum siap untuk menampung bahkan menerima
gagasannya yang futuristik. Perspektif Syahrir yang tertuang dalam diplomasinya
yang anti kekerasan, moderat, idealis dan dinamis bagi saya menjadi kelemahan
yang kemudian ketika di elaborasi mendalam adalah hasil dari lemahnya
pemobilisasian massa yang massif. Ia berbeda dengan Tan Malaka yang nomor satu
dalam hal organisir massa yang massif, juga dengan Musso yang lewat pidato dan
agitasi yang propagandis mampu mencuci otak-otak manusia yang mendengarnya.
Menjadi pertanyaan besar dalam forum lewat Rocky Gerung adalah apakah
ada relevansi mendalam dari lemahnya pemobilisasian massa yang massif Syahrir
dengan hebatnya diplomasi yang ia perankan? Apakah ia tidak bisa memobilisasi
masa yang massif layaknya Tan Malaka atau Musso? Padahal ia – bersama Tan
Malaka dan Musso – adalah sama-sama pejuang “kiri” progresif yang menjadi
harapan kaum buruh yang tertindas.
Pertanyaan besar yang kemudian menyeruak adalah
ketika kita meneropong peta politik kebijakan Komunis Internasional yang (memang)
apabila dilihat dari konteks kebijakan fundamental sama dengan mazhab yang di
usung Bung Syahrir, yakni sosialisme. Kebijakan tersebut kemudian dikenal dengan
nama doktrin Dimitrov medio 40- dan 50-an awal. Substansinya adalah ketika kaum
progres kiri berubah haluan menjadi ber-kooperasi dengan kaum imperialis dan
kapital-liberalis “tuan tanah” untuk kemudian melawan musuh bersama fasisme
yang saat itu sangat hegemonik. Lalu, apakah
diplomasi Syahrir – dengan kaum liberal-kapitalis – yang tergolong berhasil adalah
efek dari Doktrin Dimitrov yang saat itu di anut oleh kaum komunis di seluruh
dunia? Memang secara faham ideologis, PSI yang didirikan Syahrir menentang
sistem kenegaraan Uni Soviet yang notabene adalah basis kekuatan Komintern,
namun, generalisasi gerakan progresif-revolusioner kiri yang pro kaum buruh dan
anti fasisme menjadi substansi objektif Syahrir mengadopsi Doktrin Dimitrov.
*Oleh: Don Gusti Rao
(Paper ini disampaikan pada SPPB Megawati Institute, Rabu, 23 Nov 2011. Juga dimuat pada Buletin IQRA PMII UNAS edisi XII / Mei-Juni 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar