Semua orang mafhum tatkala membicarakan polemik Musso dan
Soekarno dalam bingkai peristiwa Madiun, tempat dimana bertemunya dua kutub
kekuatan ideologis dunia di Indonesia. Keduanya memang mempunyai mentor politik
sama yang dianggap sebagai ‘Ratu Adil’ pada masa itu yakni Cokroaminoto. Musso
cukup konsisten dengan ideologi Komunis-nya hingga ia mendapat beasiswa di
universitas Lenin, juga melanglang buana sampai namanya cukup diperhitungkan di
komintern di Uni Soviet. Soekarno menjalankan politik elegan dengan
ketokohannya yang masyur, nasionalisme yang kerap bersinggungan dengan ide-ide
sosialis pencerahan – kemudian disebut Marhaen – seakan menjadi jawaban relevan
terhadap konstelasi pada masa itu.
Medio 40-an pasca Indonesia merdeka, dunia terbagi
menjadi dua kutub yang terbelah secara ideologis, Fasisme yang
direpresentasikan oleh negara-negara seperti Jerman, Italia dan Jepang mencoba
menginvasi dunia lewat berbagai jalur. Kutub kedua digawangi AS dan Soviet yang
berkooperasi ideologis lewat doktrin Dimitrov yang dikeluarkan oleh Komintern
(menyatukan kaum Komunis).
Dampak doktrin Dimitrov yang secara substantif memaklumi
kooperasi Komunisme dengan Liberal-Kapitalis untuk melawan musuh bersama yaitu
Fasisme akhirnya dibawa Musso ketika datang ke Indonesia. Musso yang merupakan
salah satu tokoh yang disegani didunia pergerakan masa itu pun cukup fasih
menerapkannya, Indonesia lewat kaum pergerakannya justru bahu membahu dengan
Belanda untuk melawan infiltrasi Jepang. Akhirnya setelah dunia mengakui
kehebatan dua kolaborator tersebut melawan Fasisme yang dapat dipukul habis
muncullah doktrin radikal dari komintern, yaitu doktrin Zdhanov.
Doktrin Zdhanov yang cenderung radikal yakni menghapus
kooperasi dengan kapital-liberalis karena musuh bersama saat itu sudah hancur.
Musso pun dengan cepat melakukan putaran 180 derajat. Inilah fenomena komunis
yang tidak jauh berbeda dengan demokrasi terpimpinnya Soekarno yang kontoversial
itu. Komunis walau bagaimanapun harus “patuh” oleh instruksi komintern yang
merupakan wadah tertinggi secara hierarkis.
Musso mulai bersinggungan dengan Soekarno setelah kabinet
Amir Syarifudin jatuh yang kemudian dikritik olehnya lewat konsepsi paradigmatisnya
yang terkenal “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Bagi Musso – yang mulai
membawa doktrin Zdhanov – lewat Jalan Baru-nya, meletakkan jabatan perdana
menteri yang sudah di pegang kaum kiri kepada kaum Nasionalis borjuis
(Soekarno-Hatta) adalah sebuah kesalahan besar.
Jalan
Baru Musso dan strategi politik-ideologis
Perspektif Musso yang kemudian distensil puluhan ribu
kopi untuk para kader komunis membuktikan bahwa konsepsi tersebut sudah
dipikirkan masak-masak. Lewat safari politiknya ia berpidato dengan gaya
retorik-demagog yang sanggup menghipnotis massa.
Setelah
Amir jatuh akibat perjanjian Renvile, kubu kiri kemudian membentuk poros oposisi
kiri yang dinamakan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Lewat FDR inilah kritik
terhadap Soekarno dan Hatta yang merepresentasikan kebijakan pemerintah
mengemuka, apalagi terhadap Masyumi dan PNI yang jelas-jelas berputar arah
lewat manuver politiknya yang semula mendukung Amir dengan perjanjian
Renvilenya namun pada akhirnya menyalahkan Amir dan belok mendukung Hatta
sebagai perdana Menteri.
Salah
satu isi Jalan Baru adalah melebur partai-partai berhaluan Marxis-Sosialis
seperti Partai Buruh, Partai Sosialis dan Partai Komunis Indonesia menjadi
partai yang memiliki historia panjang secara empirik yakni Partai Komunis
Indonesia.
Lewat
FDR dan Jalan Baru, Musso mengkritik Soekarno sebagai kolaborator Jepang dan
juga sebagai Nasionalis-borjuis yang notabene tidak layak memimpin Indonesia.
Indonesia yang dinilai terlalu berpihak kepada Amerika sebagai bargain pengakuan kemerdekaan dianggap
telah mencederai estetika kemerdekaan. Dan disinilah embrio konflik keduanya
setelah mereka berpisah dari tempat kos Cokroaminoto.
Soekarno yang menganggap Musso sebagai guru politiknya
setelah Marx dan Cokroaminoto itu ternyata terjebak dalam kekalutan dilema
keberpihakan antara Amerika dan Soviet. Walaupun ia pernah berpidato dengan
kata-kata yang sangat terkenal waktu itu yakni “Amerika kita setrika dan
Inggris kita linggis”. Soekarno juga pernah menyindir Amerika dengan “Go to Hell with your aid”. Namun gerakan
Non-Blok Soekarno yang dikemudian hari terkenal itu awalnya manjalani jalan
yang terjal. Banyak yang mengira bahwa legitimasinya kalah oleh Hatta sebagai
perdana menteri yang condong ke Amerika. Rumor yang beredar adalah apa yang
disebut dengan marshall plan yang
merupakan rencana pembumi hangusan kaum kiri, Indonesia kemudian diberi apa
yang kita kenal sebagai Red Drive
Proposal sebagai bargain
pengakuan kemerdekaan Indonesia yang saat itu sedang di goyang oleh agresi
militer Belanda ke II, juga bantuan ekonomi Indonesia yang saat itu sedang
krisis hingga perdana menteri Hatta melakukan kebijakan yang ditentang
habis-habisan oleh FDR yaitu Reorganisasi-Rasionalisasi (Re-Ra) pada tubuh
Tentara Republik Indonesia.
Di Jalan Barunya, secara implisit Musso mengkritik Re-Ra
sebagai taktik pembumi hangusan eksistensi kaum kiri yang memang memiliki
laskar-laskar pemuda dan militer yang cukup disegani. Bagi Musso, Hatta dan
Soekarno hendak menjual kemerdekaan ini kepada Amerika, sebaliknya pemerintah
menilai Musso dan FDR hendak mendirikan negara Negara Soviet di Indonesia lewat
Polemik Madiun.
Ik
kom hier om orde te scheppen!
Saat pertemuan yang haru biru antara Soekarno-Musso pada
Agustus 1948, Soekarno mengajak Musso untuk turut serta membantu jalannya
kemerdekaan Indonesia dari berbagai ancaman, Musso menjawab dengan singkat
dengan bahasa Belanda “Ik kom hier om orde te scheppen” (saya datang kesini
untuk menciptakan ketertiban). Harry Poeze dalam “Madiun 1948, PKI Bergerak”
(2011) mengungkapkan bahwa jawaban itu menunjukkan oportunistis Musso yang ingin
menjadi Presiden bila Madiun berhasil direbut.
Aidit dalam pidato pembelaannya di pengadilan dengan
gamblang menyebutkan bahwa Hatta-lah provokator yang bertanggung jawab men-design peristiwa Madiun – yang pada masa
Orde Baru di sebut sebagai Pemberontakan Madiun – sehingga PKI dihabisi dari
elit sampai akar rumput. Aidit pun menyebut Musso sebagai “komunis patriotis”.
Amerika pada saat itu memang sedang mengamati
perkembangan komunisme yang sangat pesat di Asia (Tenggara), ini yang menjadi
dalih utama kaum kiri bahwa Hatta adalah biang keladi Peristiwa Madiun, dan
tanpa disadari atau tidak setelah PKI hancur lebur pada 1948, Belanda
benar-benar angkat kaki dari Indonesia.
-o0o-
Hemat saya, Musso dan Soekarno sama-sama mempunyai
kepentingan terkait kemerdekaan Indonesia, Soekarno yang terlanjur harum
semenjak membacakan teks proklamasi menjadi magnit politik bagi kawan maupun
lawannya. Ia pun terjebak dalam permainan polemik ideologis Amerika-Soviet
karena Indonesia adalah wilayah seksi untuk diperebutkan, kepentingan Amerika
jelas, menghancurkan Hegemoni Komunisme di Asia setelah China dan kemudian
Filipina menjadi sarang Komunisme setelah Uni Soviet. Sedang Soviet, memutar
taktik bagaimana – setelah Amir jatuh – merebut kembali Republik lewat
kader-kader komunis yang militan. Apalagi dari segi peta ideologi Komunisme dan
Liberal-Kapitalisme hanya bisa disatukan lewat doktrin Dimitrov dengan musuh
bersama Fasis. Namun realitanya berbalik ketika doktrin Zdhanov muncul
kepermukaan terkait runtuhnya Fasisme.
Selain itu,
keduanya memang mempunyai akar rumput fanatik dari ketokohannya. Kendaraan
politik mereka pun merupakan partai-partai besar, PNI dan PKI. Kedua partai
tersebut fasih mengkolaborasi eksistensi hegemoni dan dominasi, meminjam
Gramsci dalam Teori Hegemoninya, dimana perpaduan antara ideologi yang
cenderung soft dengan kekuatan
barisan dominasi fisik yang hard,
partai-partai tersebut mempunyai barisan paramiliter hingga
kepemudaan-mahasiswa yang cukup solid.
Bila kita
apriori, kedua tokoh ini pun seperti dijadikan “boneka” ideologis dalam
memperebutkan kekuasaan yang sinambung. Amerika melalui Hatta ke Soekarno dan
Soviet melalui Komintern ke Musso.
Sejarah
akhirnya bicara, mereka sangat antipati
hingga akhirnya pecah Peristiwa
Madiun pada 18 September 1948. Soekarno “memulainya” dengan pidato tanggal 19
September 1948, dalam pidato yang
dipancarkan melalui Radio tersebut ia menyerukan kepada seluruh rakyat
Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno-Hatta, “Negara kita mau
dihancurkan, mari basmi bersama pengacau-pengacau itu!”. Hanya berselang tiga
jam, melalui corong Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Soekarno, Musso
menyatakan bahwa Soekarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis
Amerika. “Oleh karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan
melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu”.
Dan,
akhirnya Musso dipersangkakan sebagai pemberontak dan mati terbunuh dalam
tembak menembak dengan tentara pemerintah. Setelah itu giliran Amir Syarifudin,
Soeripno dan kawan-kawan lainnya yang dibunuh tanpa diadili.
Setelah
keran demokrasi terbuka lebar, banyak yang berpendapat bahwa konflik
Musso-Soekarno adalah polemik Madiun yang didalamnya terdapat konflik hebat
Amerika-Soviet, Siliwangi-Senopati, dan tentunya Komunisme-Liberal Kapitalisme.
*Oleh: Don Gusti Rao (Disampaikan sebagai pengantar pada agenda diskusi ‘Kelompok Diskusi 49’. Selasa,
19 Juni 2012, ruang 002 Blok 4 UNAS)
Sumber bacaan:
-
Harry A. Poezze, ”Madiun
1948: PKI Bergerak”. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia; KITLV-Jakart,
2011.
-
Himawan Soetanto,
”Madiun, dari Republik ke Republik”. Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006.
-
Soemarsono, ”Revolusi
Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah”, Transkip & Edit oleh Komisi Tulisan
Soemarsono, Eropa. Jakarta: Hasta Mitra, 2008.
-
Tim Buku Tempo, ” Muso,
SI Merah di Simpang Republik”. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG),
2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar