...

BLOG INI PINDAH KE: doni-rao.blogspot.com

Minggu, 26 Juni 2011

Fenomena Organisatoris : Antara Tanggung jawab dan Konsekuensi*

             Apa yang ada di benak anda ketika mendengar kata organisasi? Sekumpulan manusia yang cukup aktif dalam melaksanakan kegiatan, orang-orang yang belajar (dalam konteks luas) diluar lingkup pendidikan formal, atau mereka yang mempunyai ideologi sama sehingga mendirikan sebuah ‘perkumpulan’ untuk mengaktualisasi ideologinya. Ya, semua pendapat tadi cukup valid dan rasional. Spesifikasi, yang coba kita bahas disini adalah organisatoris dalam ruang kampus, yang lazim disebut sebagai aktifis, aktifis organisasi atau aktifis pergerakan. Biasanya organisasi ekstra kampus yang selalu dijadikan tolok ukur.
           Tidak dipungkiri, disemua aspek kehidupan, terdapat tanggung jawab dan konsekuensi, dalam menjalani hidup misalnya, ada berbagai macam agama, ibadah dalam agama merupakan tanggung jawab sekaligus konsekuensi. Kita semua sepakat bahwa ibadah adalah tanggung jawab umat beragama kepada tuhannnya, ini normatif. Lalu menjadi anomali ketika ibadah di jadikan konsekuensi, apabila berbenturan dengan sesuatu yang urgent sifatnya, ibadah akan menjadi konsekuensi untuk di laksanakan bahkan didahulukan. Relativisme dalam meneropong ibadah dalam dua konteks, tanggung jawab dan konsekuensi.
           Kembali ke tema, disetiap tahap awal menjadi organisatoris, akan ada sebuah tahap pengenalan di mana terdapat doktrinasi yang seakan menjadi semacam dogma yang cukup sakral, yang cukup memompa jantung anda adalah ketika dalam doktrinasi tersebut terdapat semacam janji, sumpah atau ba’iat. Tanggung jawab terhadap sesama anggota, organisasi bahkan tuhan Yang Maha Esa di ucapkan disini. Sampai ditahap ini kita sudah tahu bahwa ketika baru beberapa detik pasca di ‘sumpah’ menjadi organisatoris sudah ada tanggung jawab yang menanti disana. Apa? Anda melanggarnya? Cap pengkhianat dan berbagai sanksi sosial akan menanti anda sebagai konsekuensi.
           Fenomena yang menarik untuk di diskusikan disini adalah ketika seseorang terbentur antara tanggung jawab organisasi dengan tanggung jawab sosial dan tanggung jawab terhadap keluarga. Contoh menarik ketika kader yang cukup berpotensi (atau yang paling ‘pas’ dibanding kader yang lain) diberi tanggung jawab oleh pengurus, anggota dan senior untuk memangku jabatan dalam lingkup organisasi internal, dinamika organisasi ekstra untuk menjadi nomor 1 dalam jabatan intra akan menjadi gengsi, prestisius, dan tentu saja eksistensi atau bahkan memperlancar aliran ‘dana-dana revolusi’ dari pihak kampus terhadap anggota lain dan organisasi koalisi – Tidak makna untuk berkilah, memang dari semua alasan, empat hal tadi yang menjadi faktor fundamental, alasan lain akan menjadi sebuah omong kosong belaka.
           Asumsi yang cukup kontroversional yang di publish dalam jurnal mahasiswa, ya mungkin ini klimaks yang termanifestasi dalam sebuah tulisan. Ingat, tidak ada yang salah disini, itu rahasia umum dan memang orientasi dalam konteks politik.
Peta Dalam Ruang Kampus
           Bila partai berebut mencari tempat eksekutif, organisasi ekstra yang diibaratkan partai akan berkoalisi untuk mendapatkan tempat nomor 1 di Himpunan Jurusan yang diibaratkan Gubernur, BEM / Senat yang diibaratkan eksekutif paling seksi (presiden). Akan terjadi kontrak politik antara organisasi ekstra koalisi disana dalam membentuk kabinet yang diibaratkan menteri di BEM / Senat, pejabat / staf Gubernur dalam ruang Himpunan Jurusan dan Ketua atau anggota DPR dalam konteks BPM. Kampus sendiri diibaratkan menjadi Negara yang ‘penting’ untuk dibenahi.
           Bak konstelasi sungguhan dalam Negara, organisasi ekstra juga terpetakan menjadi dikotomi-dikotomi (parsial), ada yang mempunyai kedekatan emosional yang akan sulit untuk berseberangan atau menjadi oposisi, ada yang memang sudah tidak klop lagi untuk berkoalisi akibat fakta empiris, ada sentimentil terhadap organisasi tertentu yang kemudian menjadi doktrin cukup ekstrim dan jadi isu ‘nasional’ dalam kampus dan bahkan memang ada yang cukup bernuansa politis untuk didekati, hanya pada hajat tertentu mereka berkoalisi, dalam lain hal mereka seperti musuh abadi. Banyak juga yang melanggar kontrak poltik – memang lumrah dalam politik, namun, organisasi ekstra tidak melulu nuansa politis, ada emosional dan social disana – secara organisasi dan pribadi, jangka pendeknya adalah LPJ saat demisioner dan jangka panjangnya adalah isu.
Fenomena yang Lumrah
           Fenomena seperti paragraf empat tadi adalah sedikit gambaran dalam fase anda berorganisasi. Tanggung jawab sebagai organisatoris secara sederhana adalah ketika anda diberi misi untuk membenahi organisasi intra dengan duduk pada jabatan tertinggi – mau tidak mau – anda harus bersedia, awamnya seperti ini, pengurus, anggota atau senior sekalipun tidak akan membuat malu organisasinya ketika mencalonkan kader yang tidak berpotensi sama sekali, ini akan menjadi blunder dan bumerang terhadap nama baik organisasi yang selama ini terbangun dengan memakan waktu. Peningkatan kapasitas akan berproses dan berkontinyuasi ketika mendapatkan tanggung jawab besar menjadi ketua umum di intra. Jadi, berbanggalah kalian yang pernah di tunjuk untuk memangku sebuah jabatan walaupun hanya sekedar isu, terlepas dari terealisasi atau tidak, ini membuktikan bahwa keuletan anda dalam berorganisasi cukup di apresiasi, tidak ada alasan untuk ‘takut’ atau berkecil hati.
           Anggap saja bila potensi, restu, kualifikasi menjadi calon dan organisasi koalisi sudah fix, tinggal menguatkan kembali diri si calon, yang perlu di garis bawahi disini dan sering kali keliru adalah, pada tahap ini yang dibutuhkan si bakal calon adalah motivasi, apresiasi, dukungan dan semangat, bukan pola konserfatif nan primitif seperti ‘menghabisinya’ dalam fit and proper test, hey kawan, itu bukan menempa kader, bukan bimbingan mental. Hal tersebut dilakukan pada saat membangun wataknya, pada saat “mensortir” siapa saja yang harus di dorong untuk maju, pada hal yang selektif, pada beberapa bulan sebelum mengerucutkan calon. Bila si calon lemah, malah akan membuatnya semakin pesimis dan aprioristis, tidak jarang hal ini justru menjadi ‘duri dalam daging’, konflik internal dan kesenjangan sosial antar anggota dengan anggota lain, bahkan dengan para senior, bila dendam positif yang muncul akan lebih baik, namun, bila tidak? Apakah pola-pola menggelikan ini terus di jalankan? PR besar bagi kita semua. Watak dan tempa dibangun pada tahap awal menjadi organisatoris, bukan pada saat dipercaya menjadi calon.
           Hal dilematis lain adalah ketika menyangkut tentang keluarga, disadari atau tidak, menyelesaikan studi lebih cepat dengan nilai yang memuaskan adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarga, itu akan sedikit terbentur ketika tanggung jawab organisasi berbicara bahwa jabatan internal menantimu dengan konsekuensi masa studi agak tertunda. Dilematis, antara keluarga dan organisasi, organisatoris yang baik adalah menyerahkan keputusan tersebut kepada si calon, karena sudah menyangkut keluarga, cukup sensitif.
*Oleh: Don Gusti Rao, Wakil Ketua Umum Senat Mahasiswa FISIP UNAS.
(Buletin IQRA PMII UNAS, Edisi X / Januari- Februari 2011 "Music, Politik & Kritik Sosial". Hal 10.)

Tolong Jawab Aku…!!!

Gema lantunan khidmat yang ku dengar saat fajar menyingsing, membuat takjub aku yang awam.
Hati menjadi tanda tanya, mengapa orang itu bersedia meluangkan waktunya?
Lalu pertanyaan itu semakin menggiring ke pertanyaan yang cukup frontal, mengapa DIA turunkan kepercayaan yang terkotak-kotak? Padahal semua orientasi sama.
Tolong jawab aku…
Awalnya, terjadi kesalahan-kesalahan yang kemudian menjadi sebuah kepercayaan yang paling benar, walaupun semuanya punya alasan sendiri tentang “dapur” pribadinya. Mana ya yang benar?
Tolong jawab aku…
Si “A” punya alasan kuat, “B” pun demikian, “C” apa lagi, dan “D” bahkan rela mati untuk meyakinkan yang lain, walaupun minoritas, “E” cukup konsentrasi kepada ibadahnya..
Yang menarik, muncul kepercayaan lain yang kerangkanya sama, namun, katanya agak menyimpang, katanya sesat…
Tolong jawab aku…
Ingat janji-nya? Janji yang kau baca di buku suci, janji yang kalian ikrarkan setiap menghadapnya, pernah berfikir bahwa janji-janji tersebut sama dengan golongan lain? pernah dengar surga-neraka? Apa jadinya ya ketika kepercayaan tidak terkotak-kotak bahkan tidak saling hantam?
Coba Tanya DIA…
Normatif ketika DIA kita konfirmasi ihwal semua ini,
Sah-sah saja kalau umatnya yang hina dina ini cukup cakap nan vokal, bagaimana menurutmu yang sering berkomunikasi dengan-NYA?
Diam bukan jawaban oh pasrah bukan acuan,
Tolong jawab aku…
Jadi malu melihat yang lain sangat banyak intensitasnya, jadi risih lihat yang lain hanya sekali, jadi aneh melihat yang satu lagi bahkan setahun sekali, tapi bukankah ini dinamika? Kalo kata orang liberal ini akulturasi ke budaya lokal, kata orang plural ini “Bhineka Tunggal Ika”, kata orang demokrat ini demokrasi, kata orang nasionalis inilah Indonesia…
Kata pemuka konserfatif ini perang, kata ortodoks tulen dan fundamentalis “hancurkan! dan kita syahid!”, kata orang moderat ini biasa dan tidak ada yang perlu di komentari.
Jadi konfusi ya, absurd…
Tapi bagaimana kalau pilihan kalian ternyata keliru? Dan kalian baru mengetahuinya ketika hari akhir tiba?
Saat kalian begitu yakin terhadap apa yang kalian anut, namun, kenyataan salah, malah yang kalian anggap apatis justru keluar sebagai pemenang! Paling benar dan pertama terhormat di hadapan tuhan!
Aku apriori kalau ada individu yang pernah berfikir begitu, sufi pun tak, mereka hanya di buat untuk capai pahala, bagaikan malaikat.kalau mereka vokal berfikir seperti itu aku tak mau membayangkannya, jangan-jangan, lebih alot dari sekedar Gestapu dan Genosida NAZI.
Awas! Neraka menantimu!
Sudah begitu alim, sudah cukup relijius, eh ternyata salah…
Wah, kalau anda bayangkan semalam suntuk pasti stres, pasti animis.. pasti takut.. pasti jaga jarak dan pasti akan merobek sajak ini…
Awas! Neraka menantimu!
Lantunan khidmat tadi lalu menjadi hilang perlahan,
Pertanyaan yang menggebu-gebu tadi pun hilang seiring gema merdu yang menjauh.
Menjadi lima kali pertanyaan setiap hari, menjadi ambigu apa yang ku lakukan…
Takut keliru, takut salah, padahal, ketika kau telah yakin untuk di anut, kau harus berani konsekuensi dan kondisi…
Tuhan, untuk apa kau buat dikotomi parsial macam ini?, pengkotak-kotak yang selalu memicu konflik?
Hah? Menguji?
Kau maha tahu kalau kami mahluk paling bimbang,inkonsisten, lemah, bodoh dan mudah di mobilisasi…
Kesempurnaan bentuk fisik dan hawa nafsu justru menjadi bumerang untuk menggapai murka-MU…
Mengapa?
Jadi lumrah ketika banyak korban dari perbedan ini…
Jadi wajar kalau jarak pengkotak-kotakan ini sangat terlihat…
Tolong jawab aku…
Bayangkan bila kamu yang cukup relijius di dunia lalu mendapat balasan berupa api neraka di akhirat!
Apakah yang kita anut ini sudah benar?
Aku yakin pasti kalian tidak tahu ketika pertama kali menganutnya, pasti dari orang tua, di rayu kekasih, bahkan di paksa dengan ancaman bunuh… hanya beberapalah yang manganut dengan mempelajarinya dulu, mengenal lalu mengimplementasikannya.
Apakah yang kita anut ini sudah benar?
Tolong jawab aku…
Terima kasih.

021110, 19.40 WIB @kamarhampa

Mengapa Gadis Itu Memakai Tutup Kepala?

Sejuk, tenang, teduh, ketika melirik sinis berkelakar skeptis…
Mengapa dia memakai tutup kepala? Padahal amat berat untuk keadaan saat ini, angkat topi, apresiasi..
Memang, untuk dinamika saat ini, anomali, menggelikan…
Tapi, jadi semacam ideologi, semakin apresiasi…
Jadi ironi ketika berjalan dengan si rambut panjang, rambut pemberontak idealis yang keras kepala, tapi, ya itulah tadi, pameo klasik tentang “jangan melihat buku dari kovernya” jadi berlaku saat ini…
Percaya atau tidak, tutup kepala itu jadi semacam impian, jadi semacam tipe, jadi semacam orientasi…
Tapi kenapa?
Kontras,
Sangat kontras,
Sekarang konfusi, menjadi beberapa pilihan, antara dua penutup kepala dan satu yang berlainan yakin…
Awas jangan keliru! Bukan waktunya lagi untuk bermain-main kawan…
Dari semua yang pernah di lalui, ini yang paling alot...
Wow, romantika masa muda ya?
Tapi, Mengapa dia memakai tutup kepala?
Bukan parameter, bukan jaminan
Apalagi empiris sudah membuktikan, salah paham pun banyak, dilematis...
Tutup kepala? Mungkin sosok religius, mungkin citra belaka, atau tuntutan dari rumah?
Mengapa tutup kepala yang kau cari?

171110, 21.55 WIB @kamarhampa

Epistemologi Friedrich Wilhelm Nietzsche*

“Konsep kebenaran adalah sesuatu yang tidak bermakna. Seluruh wilayah ‘benar-salah’ hanya digunakan dalam hubungan-hubungan, bukan ‘pada dirinya sendiri’. Tidak ada ‘esensi pada dirinya’ (yang membentuk esensi hanyalah hubungan-hubungan), demikian juga tidak ada pengetahuan pada dirinya sendiri”.
Kebenaran bagi Nietzsche adalah suatu Metafor.
“Lalu apa itu kebenaran? Sepasukan metafor yang bergerak. Kebenaran adalah ilusi-ilusi yang dilupakan orang bahwa itu adalah ilusi. Kebenaran adalah mata uang yang dijadikan medali dan kini tidak lagi dianggap sebagai mata uang, melainkan hanya sebagai logam” (ST. Sunardi, 1999: 142).
Pandangan Epistemologi Nietzsche diawali dengan suatu asumsi dasar bahwa kita harus menggunakan skeptisme radikal terhadap kemampuan akal. Tidak ada yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu naïf jika akal di percaya mampu memperoleh kebenaran. Kebenaran itu sendiri tidak ada. Jika orang beranggapan dengan akal diperoleh pengetahuan atau kebenaran, maka akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan.
Secara implisit, pernyataan ini sudah merupakan penghalang bagi orang lain untuk melirikk pandangan epistemologinya, karena apa yang diungkapkan dan difikirkan Nietzsche pun dengan sendirinya juga dianggap “salah”. Kesalahan atau kekeliruan adalah momok bagi mereka yang ingin mendapatkan kebenaran.
Wacana epistemologi, sejak zaman Plato sampai dengan zaman Descartes, bahkan sampai ada zaman kontemporer sekarang ini adalah berupaya untuk mencari kebenaran. Pengetahuan itu untuk mengukuhkan kekuasaan. Pengetahuan itu untuk berkuasa. Pengetahuan itu selalu terkait dengan kehendak untuk berkuasa (The Will to Power).
Epistemologi Nietzsche di tengah zaman modern yang ditandai dengan dominasi akal ini tampak aneh dan sulit untuk diterima. Pendobrakan dogmatisme (kemapanan) akal dengan konsep The Will to Power, membuat Nietzsche seprti dalang yang keluar dari pakem. Perbedaan itu sangat tampak sekali dan hakan berkontridiksi 180 derajat antara filsafat Nietzsche dengan pemikir-pemikir besar yang menjadi kekuatan mainstream saat itu, baik dalam penggunaan bahasa epistemology maupun materi yang disajikan.
Terlepas dari semua itu, epistemologi Nietzsche layak untuk dikaji dan diperbincangkan. Pemikirannya yang tidak bias diterima oleh zamannya telah mulai menunjukkan pengaruh dan kekuatannya pada masa ssekarang ini. Hal ini dapat dirasakan pada epistemology Karl Popper dengan falsifikasinya dan juga pada pemikiran kaum eksistensialis. Nuansa Nietzshean dalam epistemology posmodermisme (pluralism, dekonstruksi, relativitas) sangat terasa sekali. Dalam rangka memahami epistemologinya, tulisan ini sebiasa mungkin disajikan dengan menggunakan bahasa yang sederhana, dicerna sebagaimana bahasa yg digunakan Nietzsche.
Karakteristik Epistemologi Nietzsche
Mempelajari epistemologi Nietzsche tanpa menelaah keseluruhan filsafatnya seperti mengambil mozaik terpisah dari keseluruhannya, sehingga akan tampak aneh dan tidak bermakna. Ia tidak membahas epistemologi sebagai cabang filsafat tersendiri sebagaimana filsuf-filsuf lain. Epistemologinya merupakan sebagian kecil dari konsep The Will to Power.
“Akal dalam bahasa diibaratkan sebagai seorang tua yang dungu”
“… tetapi telah lama saya menyatakan perang terhadap optimisme kemampuan akal. (Nietzsche, 1968:35)
Seluruh filsafat Descartes dan Imanuel Kant yang dikritik Nietzsche, pada dasarnya berupaya mendapatkan formulasi yang tepat dan pasti bagi kemampuan akal untuk mendapatkan kebenaran.
Hipotesa Penulis
Yang menarik, di elaborasi secara general, pemikiran Nietzsche (ternyata) sangat berperan besar dalam perkembangan fasisme di negaranya sendiri (jerman) , Nietzsche menilai rendah apa yang disebut kemanusiaan. Ia percaya bahwa manusia bukanlah mahluk rasional yang mampu menjalankan kode-kode moralitas untuk kebaikan masyarakat dan dirinya. Malah, manusia adalah mahluk emosional nan bengis, yang hanya dapat memenuhi dirinya dengan “kehendak untuk berkuasa”. Bagi Nietzsche, kehidupan manusia seperti kehidupan binatang di hutan, dan di hutan hanya yang kuatlah yang bertahan hidup. Ungkapan Nietzsche yang sangat kuat, yang banyak di kutip kaum Nazi, membandingkan ke’superman’-an manusia dengan binatang sasaran: ‘orang pirang yang kejam dan bengis luar biasa, keranjingan menjadi-jadi akan barang rampasan dan kemenangan’.
Nietzsche mengagumi kekuatan: kekuatan negara ataupun kekuatan binatang yang bernama manusia. Mereka tidak memandang penting tujuan peradaban modern, perdamaian dan HAM. Mungkin keliru untuk menghormati Nietzsche hanya sebagai pelopor Fasis ideal. Apa yang kaum Fasis lakukan adalah memilih dan meyakini konsep-konsep filsafat abad ke-19 yang mereka inginkan. Dan konsep yang mereka pilih: manusia pada dasarnya bengis dan negaraharus berkuasa atas segala hal.
*Oleh: Don Gusti Rao

Sabtu, 25 Juni 2011

Disintegrasi Bangsa Dalam Konteks Politik, di Elaborasi Dari Faktor Fundamental yang Ada Pada Daerah Propinsi*


Pengertian integrasi dan disintegrasi nasional
Integrasi Nasional identik dengan integritas bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau pembauran berbagai aspek sosial budaya ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan identitas nasional atau bangsa (yang harus dapat menjamin terwujudnya keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam mencapai tujuan bersama sebagai suatu bangsa. Integritas nasional sebagai suatu konsep dalam kaitan dengan wawasan kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan pada aliran pemikiran/paham integralistik.(1)
Pengertian ini berhubungan dengan paham idealisme untuk mengenal dan memahami sesuatu yang harus dicari kaitannya satu dengan yang lain. Dan untuk mengenal manusia harus dikaitkan dengan masyarakat di sekitarnya dan untuk mengenal suatu masyarakat harus dicari kaitannya dengan proses sejarah.
Istilah Integritas Nasional terdiri dari dua kata yaitu “Integritas” dan“Nasional”. Istilah “Integritas” mempunyai arti “mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan”,(2) sedangkan istilah “nasional” mempunyai arti kebangsaan, bersifat bangsa sendiri yang meliputi suatu bangsa,(3) berupa adat istiadat, suku, warna kulit, keturunan, agama, budaya, wilayah/daerah.Integritas nasional wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara.(4)
Setelah pengertian integrasi kita dikupas di atas, maka disintegrasi bangsa dapat dikatakan lawan arti dari integrasi bangsa. Disintegrasi bangsa sangat membahayakan keberadaan Negara ini dalam percaturan kehidupan bernegara di dunia. Dapat diartikan pula kondisi pecahnya kesatuan dan persatuan bangsa kita. Persatuan dan kesatuan ini dapat dilihat dalam kontek kewilayahan maupun kebangsaan yang meliputi kesatuan ekonomi, politik, sosial budaya, ideologi dan pertahanan keamanan.

Pokok masalah dalam konteks politik
Apabila kita lihat dengan seksama, sesuai dengan pengertian di atas, disintegrasi bangsa merupakan hal yang sangat urgen bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, urgensi ini makin menarik apabila kita elaborasi lebih dalam dari sudut pandang atau konteks politik yang notabene adalah sebuah induk dari faktor adanya sesuatu yang bermuara pada kekuasaan, keutuhan, tata letak dan birokratif suatu bangsa,(5) saya pribadi lebih suka menyebutnya dengan “faktor X” karena dari faktor politiklah semua yang menyangkut bangsa dapat di komparasikan mengenai jalan keluar hingga awal masalah yang menjadi urgensinya.
“Faktor X” ini menjadi general dan tidak layak ter-dikotomi karena menyangkut bangsa dan Negara, dan harus terselesaikan dengan cara generalisasi yang di mulai dengan proses awal dari hal yang terkecil – seperti dalam tingkat propinsi, kita telaah permasalahannya, penyebab, potensi hingga mekanisme jalan keluarnya – hingga yang paling besar secara step by step dan berkontinyuasi.
Dalam konteks yang (bisa dikatakan) kecil dan sederhana seperti pada tingkat propinsi, masalah disintegrasi lebih sederhana namun mematikan! Mengapa? Hal ini terkait dari masalah ego – selain berkompetisi dengan propinsi lain, DKI Jakarta memikul tanggung jawab yang lebih berat untuk mempertahankan gengsi sebagai ibu kota Negara, propinsi di DKI harus lebih baik dari propinsi lain dan pandai meramu strategi agar tidak terjadi clash / benturan untuk hal itu dan apabila tidak di kelola dengan baik dan selalu “mengkotak-kotakkan” atau mendikotomikan hal yang seharusnya bisa di telaah dari kaca mata general, ini akan menjadi bumerang, padahal salah satu tugas pokok semua propinsi selain untuk mensejahterakan masyarakatnya adalah untuk menjadi lebih baik lagi dan membawa harum nama daerahnya untuk bisa berbicara di tingkat nasional sehingga masalah disintegrasi bangsa bisa tergerus secara perlahan karena soliditas yang di bangun – hingga kepentingan individu maupun kelompok, mayoritas-minoritas secara sepihak yang akan menjadi sesuatu hal yang notabene mengangkangi orientasi ke depan. Kita semua tentu tidak akan pernah mau pepatah yang berbunyi “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” ber-realita karena “hanya” dari daerah setingkat propinsi akan berdampak pada tingkat nasional yang merusak sebuah citra dan itu adalah sebuah masalah yang (bermuara pada disintegrasi) “lebih sederhana” namun mematikan. Contoh konkritnya apabila kita berbicara tentang ego kepentingan individu-kelompok yang berprospek pada terjadinya disintegrasi adalah dari masalah kompleks nan klasik seperti pembangunan-pembangunan infra maupun supra struktur yang terus terbengkalai – infra struktur yang terbengkalai di propinsi DKI Jakarta mudah sekali di temukan, seperti banyaknya jembatan penyeberangan/tiang pancang untuk monorail yang belum jadi dan terbengkalai dan sangat mengganggu pengguna jalan, salah satunya di depan gedung KPK – dan coba kita kaitkan dengan ego tadi, esensinya adalah mencari sebuah pengakuan, citra dan legitimasi yang hanya akan “mengharumkan” individu-kelompok tertentu saja. Ini tidak general dan akan menjadi semacam blunder yang berbahaya, dan apabila kelompok-kelompok tadi terlena dengan “aktifitas keliru” tersebut dan berhasil mencapai citra hingga pangkat yang terus meroket tajam, terus terang saya tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi bila mereka duduk pada jabatan strategis di birokrasi-departemen yang lebih tinggi dan prestisius (mungkin disintegrasi yang lebih kompleks).
Memang apabila kita berbicara tentang politik (yang pragmatis), sebuah nilai dengan prestis tinggi seperti pada sebuah sistem bergengsi yang di dalamnya terdapat kader atau simpatisan (partai/organisasi politik ber-AD/ART) yang berperan (cukup signifikan) akan menjadi sebuah legitimate yang ber-simbiosis mutualisme, bagaikan dua sisi mata uang yang selalu berdampingan namun terpisah, di sisi lain individu-kelompok tersebut membutuhkan kendaraan politik untuk mencari kekuasaan yang berproses dan mencari semacam tameng untuk membekingi policy yang di buatnya yang ber-pragmatisasi, di sisi lain partai-orpol membutuhkan lumbung suara, kaderisasi, “pendanaan balik atau pendanaan kembali” apabila sudah mapan/mencukupi administrasi untuk pembendaharaan partai, substansinya adalah keduanya membutuhkan legitimasi yang kuat untuk mempertahankan orientasi yang sudah menjadi pakem atau platformnya.
Jadi, esensi masalah yang niscaya akan menjadi disintegrasi bangsa yang di mulai dari tingkat propinsi adalah adanya sebuah kepentingan yang ter-dikotomi pada konteks-konteks tertentu yang notabene sangat menghambat proses orientasi yang sesungguhnya sudah dicanangkan sejak awal (yang bertendensi pada kepentingan rakyat), semuanya ingin menjadi terdepan atas nama ego kelompok sendiri, tidak general dan sangat memaksakan, karena dengan citra yang akan dimiliki oleh kelompok secara sepihak akan “melanggengkan dan menaikkan” bahkan bersifat sangat prestisius dalam konteks citra dan jabatan.
Kita seharusnya memang tidak bisa menjustifikasi seenaknya masalah disintegrasi pada tingkat propinsi tanpa data yang akurat, namun hal itu akan termaklumi dan sah-sah saja apabila memang hal tersebut sudah mudah terlihat baik secara eksplisit maupun implisit. Di DKI Jakarta, masalah fundamental yang sangat riskan dan bermuara pada disintegrasi banyak sekali seperti yang disinggung di atas yaitu masalah infra struktur yang terbengkalai, dikotomi yang tak seharusnya – seperti yang terjadi pada internal birokrasi, organisasi-organisasi masyarakat yang terus bersitegang seperti fenomena gesekan antara FBR-FORKABI-suku pendatang,(6) pemilihan kepala daerah dan konflik yang berkaitan dengan SARA – hingga budaya politik yang sudah tidak relevan untuk diimplementasikan.

Hal yang ter-ejawantah yang bersifat solutif yang ditawarkan
Bila kita ber-apriori, masalah tersebut adalah masalah kompleks dan sistemik, tidak mudah untuk di tanggulangi bila bukan dari diri sendiri, bahkan bila wacana tentang reformasi birokrasi di implementasikan atau yang lebih ekstrem seperti civil society jilid selanjutnya di coba tidak melulu berlebihan. Dan menurut perspektif saya pribadi bahwa hal tersebut adalah semacam solusi alternatif terakhir yang dilakukan, mengapa? Karena tidak mudah mewujudkan hal tersebut kalau bukan karena kebutuhan dan keinginan yang sudah mengakar kuat. Dan memang harus diakui bahwa hal tersebut adalah sebuah fenomena budaya politik Indonesia yang memang sudah terjadi.
Tapi, di sini kita adalah mahasiswa yang notabene sebagai agent of change dan kaum intelektual muda yang tidak mengenal kata skeptis dan apriori (untuk orientasi positif kepada masyarakat), kita “hanya” mengenal kata apresiasi dan koreksi untuk setiap policy yang dilakukan dan di tawarkan pemerintah.
Solusi yang (saat ini) dianggap rasional adalah dengan melebur setiap individu atau kelompok yang mempunyai background politik yang berbeda bahkan berseberangan (ideologi) menjadi satu, karena bila berbicara jabatan, (baik eksekutif, legislatif atau yudikatif) orientasi dan kepentingan hanya untuk satu kata: yaitu Negara, hal-hal yang menyangkut kepentingan background kelompok tertentu yang harus di tinggalkan karena sudah menjadi amanah untuk berbakti terhadap bangsa, Negara dan tentunya masyarakat. Atau kita mengambil sistem yang mempunyai kebijakan bahwa hanya kaum independen yang mengambil alih masalah yang bisa berorientasi pada disintegrasi? Memang tidak ada parameter untuk hal ini, namun tidak ada salahnya untuk di coba, kita yang akan menjadi parameter pertama terhadap sisitem lain dan menjadi garda terdepan untuk sistem ini.
Bila kita menoleh kebelakang berdasarkan data empiris, lepasnya Timor-Timur menjadi Negara merdeka, konflik-konflik etnis (yang bisa bermuara pada disintegrasi) di Aceh, Ambon, Papua, Poso dan lainnya – selain masalah kecemburuan sosial pada pusat tentunya – adalah sebuah tolok ukur dari adanya kepentingan yang bertendensi dan ketidakpuasan. Namun, tidak adanya independensi yang melahirkan kepentingan tadi-lah yang menurut hemat saya menjadi faktor fundamentalnya. Ibaratnya, (tidak adanya) independensi adalah sebuah judul yang di bawahnya terdapat sub-sub judul seperti kepentingan yang bertendensi, kecemburuan sosial, otonomi yang berjalan pincang tanpa adanya independensi yang di gelayuti oleh kepentingan sepihak, dan tentu saja kesimpulannya adalah disintegrasi bangsa.
Otonomi daerah yang di anggap sebagai salah satu pemecah masalah disintegrasi bangsa malah akan menjadi blunder apabila tidak adanya independensi yang kuat, karena mempunyai hak otonom, mereka seenaknya menjalankan sistem yang bertendensi kepada kelompoknya.

Potensi disintegrasi
Dengan terjadinya disintegrasi pada suatu bangsa, maka citra yang di dapat Negara tersebut di mata dunia adalah sebelah mata, kurang apresiasi dan legitimasi. Terjadinya disintegrasi di Indonesia yang berujung pada merdekanya Timor-Timur memang di akui menurunkan “derajat” NKRI di mata dunia karena tidak bisa mempertahankan kedaulatannya. “Bagaimana mau berbicara lebih pada tingkat dunia bila tidak bisa mengurus internal negeri sendiri, urus negeri sendiri saja dulu baru berkoar di internasional” itulah argumen menohok yang di lepaskan lawan politik BJ Habibie saat Timor-Timur lepas dari NKRI yang saya di kutip dari media nasional.(7)
Sebagai Negara kepulauan dan kesatuan yang di pisahkan oleh lautan luas, dan juga sebagai Negara yang menganut sistem multi partai yang notabene memiliki berbagai macam kepentingan dan orientasi, disintegrasi adalah masalah kompleks yang akan terus hadir bagi Indonesia, ini merupakan PR berharga bagi pemerintah dan kita semua yang tidak menginginkan perpecahan, dan menurut perspektif saya, independensi adalah sebuah keniscayaan yang akan mengurangi bahkan menghapus bahaya disintegrasi di masa kini dan mendatang.Cheers
*Oleh Doni Rao, Mahasiswa Ilmu Politik UNAS (Papper ini juga ikut berpartisipasi dalam ajang FISIP National Camp,konferensi mahasiswa FISIP se-Indonesia, 1 – 5 Agustus 2010,di Universitas Indonesia, Depok. 
Dikutip dari Buletin IQRA, Edisi XI / Tahun ke V, Maret - April 2011. Spesial Kongres XVII. “Pemimpin dan Tanggung Jawab Sosial”. Hal 14-15)

1.Aliran yang dicetuskan oleh G.W.F. Hegl (1770-1831)
2.Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2005
3.Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989
4.Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2008
5.“Dasar-dasar ilmu politik”, Prof . Miriam Budiarjo. Hal 8 (inplisit)
6.Seperti diwartakan berbagai media Juni-Juli 2010
7.Koran kompas, edisi? (lihat di www.kompas.com)

Arah Mana Yang Benar?

Cepat, tak terasa, sudah tiga tahun buang seragam itu, lalu ingin sehat dan mendapat penghasilan, di samping kesenangan dan hobi juga… tapi, gagal lolos…
Lalu beralih ke hobi, sangat keras, bukan mainstream! Dan, nada sumbang: “mau jadi apa, sudah seperti setan, sekarang yang pasti-pasti aja” ehm, lagi-lagi, gagal lolos…
Teman dari dimensi tiga tahun yang lalu dengan yakin mencoba ke sana, ya sudah, jalani, lho? Kok jadi nyetel?? Jadi nyaman?? Padahal semuanya pasti tertawa mendengarnya…
Setelah tiga tahun lebih, semakin mantap untuk memutuskan hari esok, namun, ada saja godaan yang datang, yang hobi lah, yang sehat lah…
Arah mana yang benar?
Arah mana yang benar??
Dan, arah mana yang benar???
Coba pejamkan mata, tafakur sekejap, mungkin “ada arah” di sana,
Padahal, pilihan yang tidak disangka-sangka itu amat sangat butuh komitmen, tak dipungkiri, kapasitas pun bertambah, luar biasa, pribadi pun sangsi (awalnya)…
Arah mana yang benar?
Kawan, tolong bantu, arah mana yang benar??
Sahabat, tolonglah, arah mana yang benar???
Hei! Tolong jawab!! Araaah manaaa yaaang benaaar????
Sudah dewasa, sudah tau!
Jalani!
151010, 00.56 WIB @kamarhampa

Budaya Politik yang Semakin Membudaya*

     Apriori adalah sikap pertama yang secara gamblang menjadi terawang fenomena (budaya) politik dewasa ini, di awali dari sikap individu maupun kelompok yang seakan ber-konsistensi namun ternyata sikap yang konserfatif-lah yang menjadi faktor fundamennya, konserfatif seperti jaman monarkhi secara empiris sebenarnya sangat tersurat mencederai demokrasi, memang tidak ada yang salah dengan “kekolotan” tersebut apabila sudah lebih dahulu ber-parameter dengan konsekuensi dan ke-pragmatisannya. Namun, apakah relevan dilihat dari konteks etika dan “estetika” politik?
     Omnis Potestas Deoper Populam “Segala kekuatan berasal dari tuhan dan dengan perantara rakyat”, ya, tanpa etika dan estetikapun politik akan tetap solid, sebuah alibi bahwa kekuatan pasti berasal dari tuhan lewat rakyat dan bukan dari koalisi ataupun opsisi dan lawan politik karena bagaimanapun politik dan kepentingan pasti berpegangan pada satu kata yaitu: rakyat. Kata kuncinya adalah sikap, bagaimana sikap politik yang condong pada satu tindakan atau policy yang solutif seperti implementasi yang radikal untuk sesuatu yang sifatnya implementatif pula atau malah tindakan policy yang bersifat pragmatis, – dalam konteks pragmatis satu arah, konteks per konteks, hanya untuk si pembuat kebijakan dan kelompok dekatnya, tidak general – tindakan seperti itu memang sangat mencederai esensi demokrasi dan memang harus ter (di) rminimalisir.
     Di Indonesia, atau tepatnya pada budaya jawa yang menyatu dengan kepentingan politik dikenal (di kritisi oleh akademisi & pengamat politik) dengan istilah “AMPI” akronim dari kata: anak, menantu, ponakan dan ipar. Kependekan itu bukan tanpa alasan, apabila rezim suatu kepemerintahan atau kelompok kepentingan (partai) berkuasa pasti ada unsur-unsur yang dikatakan AMPI tadi menyelinap dalam sebuah jabatan yang bisa dikatakan jabatan strategis untuk finishing touch sebuah kebijakan, terlepas dari kapasitas individu tersebut, apakah suatu manifestasi dari nepotisme?
     Apabila kita mencoba berparameter terhadap fenomena budaya politik Indonesia, Yang menarik untuk disimak adalah fenomena kongres salah satu partai oposisi terbesar di Indonesia seperti PDI P beberapa waktu lalu di Bali, budaya AMPI seakan tidak berlaku karena keputusan final peserta kongres memilih Megawati Soekarnoputri untuk memimpin kembali partai yang menjadi oposisi terbesar pemerintah itu. Padahal begitu gencar diberitakan bahwa Puan Maharani akan meneruskan tongkat estafet partai yang mempunyai jiwa oposisi paling besar di banding partai lain tersebut. Namun hal itu terjadi bukan tanpa alasan, mereka tidaklah bodoh untuk menentukan sikap yang amat urgen untuk membangun partai ke depan seperti ini, terlepas dari amat kuatnya posisi Megawati dipartai tersebut, sebenarnya bisa dikatakan bahwa karisma Megawati tidak sehebat dulu, munculnya kader-kader baru potensial yang seakan sadar akan ke-otoritarianisme dalam tubuh partai dan kekalahannya pada pemilu (PDI P) ataupun pemilihan presiden lalu menjadi salah satu faktor yang sedikit banyak mempengaruhi berkurangnya karisma ketokohannya, dan bila dilihat dari mekanisme pemilihan presiden lalu pada waktu sesi perdebatan antar kandidat, Megawati kalah menonjol dari kedua kandidat lain: SBY dan JK. Alasan lain yang sangat relevan ketika muncul pertanyaan tentang motif mengapa Puan tidak jadi maju adalah bahwa Puan Maharani djadikan sebagai aset masa depan partai, ia tetap akan disiapkan sebagai penerus “dinasti” Megawati. Ini dilakukan karena budaya politik Indonesia memang masih meyakini budaya konserfatif – seperti monarkhi absolut yang notabene hanya garis keturunan yang dijadikan sebagai penerus takhta kerajaan – sebagai pegangan untuk kekuasaan, apalagi di dalam tubuh PDI P terdapat banyak kader-kader potensial yang diyakini bisa mengancam dan merubah sistem yang selama ini diterapkan, dan tengoklah atmosfir panas sebelum kongres tersebut dimulai, sudah tercium aroma kompetisi yang menginginkan harus adanya reformasi dalam tubuh partai. Dan yang perlu di catat adalah prestise yang tentu saja tinggi bagi keturunan keluarga tersebut apabila memimpin sebuah sistem secara turun temurun.
     Dinasti tersebut tidak akan disiapkan begitu cepat karena selain terlalu hijau untuk menakhodai partai besar, penerus tahta tersebut juga dipersiapkan untuk mempelajari (dan mendampingi) apa yang dilakukan oleh sang ratu selama memimpin, mengambil kesempatan, membuat policy untuk oposisi / koalisi dan mengambil sikap politik terhadap kader atau koalisi yang terlalu banyak tingkah, ia terus berproses dan berkontinyuasi, dan, apabila saatnya tiba, kita lihat saja apakah budaya paradigma konserfatif AMPI tersebut terealisasi.
Berkesinambungnya “budaya konserfatif” dalam tubuh partai modern
     Selain budaya yang tertulis secara gamblang di atas, hal-hal yang terejawantah dalam sebuah sistem kekuasaan adalah pragmatisasi dan kepentingan (dalam konteks berbeda) dibalik sikap dan kemauan politik. Hal ini memang dipercayai akan tetap ada dalam sistem politik manapun dan hal itu memang sebuah realita dalam fenomena yang ada.
     Pragmatisasi dan kepentingan politik di balik sebuah sikap dan keputusan politik tadi amat menonjol apabila kita amati pada hasil akhir munas golkar beberapa bulan lalu. Banyak calon-calon yang maju untuk menjadi kandidat ketua umum yang berkapasitas untuk memimpin dengan baik berdasarkan pengalaman dan kedekatannya dengan sejumlah pihak yang berguna untuk melakukan lobi-lobi politik. Dan hasil akhir pada forum tertinggi internal partai warisan orde baru tersebut adalah terpilihnya kandidat yang memang mempunyai presentase lebih di banding calon lain (berdasarkan konteks di atas) untuk memimpin Golkar berdasarkan kekuatan lobi politik, massa dan “dana taktisnya”. Ya, Aburizal Bakrie memang dikenal mempunyai kedekatan emosional dengan SBY yang terjalin saat menjadi Menkokesra.
     Lalu apa relevansinya dengan “di balik kekuasaan pasti ada kepentingan”? terelepas dari kepentingan yang sifatnya general atau konteks per konteks, dan itu memang sebuah kepentingan yang terjadi.
Bila kita lihat sepak terjang Aburizal Bakrie, tanpa menjadi ketua umum partai besar pun namanya akan tetap besar sebagai politisi, mantan menteri, petinggi partai, pengusaha dan tentu saja, salah satu orang terkaya di Indonesia. Namun apa motif kepentingan di balik sikapnya yang maju menjadi ketua umum Golkar?. Selain budaya AMPI, budaya pragmatisasi memang sangat di kenal dan begitu lumrah pada fenomena politik, dan yang berpegangan pada idealisme untuk memajukan partai? Memang ada namun untuk saat ini terlihat hanya menjadi sebatas wacana kampanye dan retorika tanpa terlihat secara signifikan pada implementasinya.
     Sebagai pengusaha yang banyak mempunyai perusahaan maupun anak perusahaan, lelaki yang kerap disapa Ical ini membutuhkan semacam “tameng” atau sebuah sistem yang membekingi kerajaan bisnisnya itu, seperti diketahui beban bea pajak untuk sebuah perusahaan di Indonesia tidaklah sedikit, selain itu dengan kharisma ketokohan yang ia miliki niscaya dapat menguatkan grup Bakrie yang di bangunnya, apalagi untuk masalah lobi politik yang bertendensi dan berelevansi dengan kepentingan perusahaan, masalah marketing, sponsorship hingga merger dan sebagainya adalah sebuah keniscayaan untuk terealisasi dengan mudah berbekal semua itu di tambah pula ia adalah ketua umum partai besar, dan mungkin juga akan ada deal politik, terjadi timbal balik atau bersimbiosis mutualisme. Dan, mungkin itu adalah salah satu di balik banyaknya urgensi di balik sikap politik Ical yang “mau” maju sebagai orang nomor satu di Golkar.
Apakah ada realita yang bahkan terkontradiksi?
     Apabila kita elaborasi lagi, apakah ada budaya non-konserfatif atau modernis dalam sistem politik yang terimplementasi pada konteks yang kita telaah saat ini? Jawabannya sedikit terkesan ambigu, antara ya dan tidak.
     Kurang afdol apabila kita tidak mengkomparasikannya dengan konstelasi terkini partai pemegang otoritas parlemen yang sebentar lagi menggelar kongresnya yang ke-II medio mei nanti.
Seperti yang sudah di wartakan media, Marzuki Alie, Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum adalah tiga kandidat bakal calon yang memang sangat berkapasitas untuk menjadi Demokrat I dan sedang bergerilya untuk mencari berbagai macam bentuk dukungan. Memang dari ketiga calon tadi untuk urusan kampanye di media massa Marzuki Alie terlihat lebih calm down, namun untuk urusan akar rumput dan dukungan dari Cikeas, mereka tak mau kalah, memang peristiwa penutupan rapat paripurna secara sepihak yang di lakukan oleh mantan aktifis PMII ini disesalkan berbagai macam kalangan, namun sebagai ketua DPR yang juga menjadi presidium sidang, ia mempunyai alasan tersendiri untuk mengambil sikap seperti itu, dan itu seperti menjadi kabar baik bagi kubu Demokrat yang pada saat itu seakan sedang terjepit, dan itu juga bisa menjadi pertimbangan bagi Cikeas apalagi ia juga menjadi salah satu elite di DPR. Bagaimana dengan dua kandidat lain Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum yang juga sedang memperebutkan hati SBY?. Budaya konserfatif yang memang masih urgen peranannya untuk di implementasikan karena memang itu seperti sarat mutlak yang harus di lakukan untuk memperebutkan kekuasaan seperti mencari restu kepada tokoh sentral adalah pekara yang lumrah, namun disaat klaim mulai menyeruak bahwa semua kandidat tersebut sudah “direstui” tokoh sentral membuat ambiguitas yang mengernyitkan dahi. Andi Mallarangeng yang juga menjabat sebagai Menegpora sudah terang-terangan merangkul salah satu anggota keluarga SBY yaitu Ibas Yudhoyono sebagai juru kampanye dan tentu saja bersimbiosis untuk mendapatkan jabatan strategis apabila terpilih nanti. Dianggap ikut berandil besar dalam proses membesarkan partai karena tidak memangku jabatan eksekutif – yang notabene cukup memecah konsentrasi, karena kepentingan negara lebih di dahulukan dari pada kepentingan partai dalam jabatan eksekutif – dan lumayan berperan di legislatif (sebagai ketua Fraksi) dalam konteks kepentingan partai dan koalisi membuat nilai plus yang kemudian bermetamorfosis menjadi sebuah statement claim bagi Anas Urbaningrum, apalagi tim sukses mantan ketua PB HMI ini juga mengklaim di dukung oleh sebagian besar DPD dan DPC jawa timur yang notabene salah satu lumbung suara Demokrat pada pemilu lalu. Satu lagi nilai plus bagi Anas adalah apabila budaya konserfatif Jawa-isme bermain cukup menonjol pada kongres nanti yang salah satu acuannya adalah dengan kultur dan sifat wong jowo (nya) yang alon-alon asal kelakon di anggap pas untuk memimpin sebuah partai yang notabene mempunyai peta kekuatan antara koalisi dan oposisi sulit di bedakan ini.
     Kekuasaan yang hanya di dapat dari hubungan darah seperti pada sistem monarki dan berfaktor uang dalam “stratregi perebutan kekuasaan” lewat manufer-m

anufer poltitik yang berlatarbelakang materi atau lobi sepihak terhadap putra mahkota atau famili dan orang penting kerajaan lainnya hingga kekuasaan ala Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan adalah beberapa dinamika budaya konserfatif yang masih berkonsistensi hingga saat ini, biasanya, berdasarkan data empiris, hal seperti ini justru semacam degradasi moral yang berlawanan terhadap demokratisasi dan idealisme keyakinan yang berorientasi pada kemajuan sebuah sistem yang di dapat. Dan, kita hanya bisa terperangah dan berharap bahwa fenomena ini dapat terminimalisir. Cheers..

*Oleh Doni Rao, Mahasiswa Ilmu Politik UNAS

Realita Kongres: Primitifisasi-Kontinyuasi?*


“Manusia bukanlah mahluk rasional yang mampu menjalankan kode-kode moralitas untuk kebaikan masyarakat dan dirinya. Malah, manusia adalah mahluk emosional nan bengis, yang hanya dapat memenuhi dirinya dengan kehendak untuk berkuasa” (Nietzsche)
      Bagi Nietzsche, kehidupan manusia seperti kehidupan binatang di hutan, dan di hutan hanya yang kuatlah yang bertahan hidup. Ungkapan Nietzsche yang sangat kuat, yang banyak di kutip kaum Nazi, membandingkan ke’superman’-an manusia dengan binatang sasaran. Nietzsche mengagumi kekuatan: kekuatan negara ataupun kekuatan binatang yang bernama manusia.
     “Prolog” awal tadi bukan semata-mata menjadi kritik bagi para calon ketua umum PB PMII 2011 - 2013, yang oleh Nietzche digambarkan sebagai binatang yang haus akan kuasa. Prolog tadi menjadi general mengingat suasana kongres yang begitu brutal oleh tindakan binatang ber-spesies manusia versi Nietzsche. Agenda rutin yang begitu dihormati, diidamkan, dan dinanti, begitu menggelikan. Sentimentil yang berakar dari konteks fundamental seperti asal cabang yang tidak mempunyai “jagoan” dalam kongres, hingga perang urat syaraf antar tim sukses cukup menjadi momentum. Semuanya ingin membuktikan – apapun caranya – bahwa kongres adalah ajang untuk unjuk gigi: unjuk gigi dalam kaca mata represif.
      Mahasiswa adalah kaum intelektual yang cakap dan peka akan lingkup sekitar, dinakhodai oleh konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi yang begitu sakral, kemudian, secara implementatif diwadahi oleh perguran tinggi, relasi dan organisasi.
     PMII, organisasi yang begitu hegemonial dalam konteks mengkritisi dan mengevaluasi kinerja pemerintahan, begitu kolaps ketika adanya ajang dua tahunan. Presidium sidang, yang notabene cukup begitu senior dan tergabung dalam struktural PB, seperti hilang legitimasi dan wibawanya ketika diteriaki dan “dihakimi” oleh forum yang kebanyakan para juniornya. Yang menarik, keganasan manusia-manusia intelek yang dikatakan mahasiswa tadi begitu beringas diajang forum tertinggi organisasi, primitifisasi tercampur dalam ruang otak-otak manusia modern, ironis.
Sebuah desain dan pekerjaan rumah
     Adanya kritik oto kritik adalah normatif, pro-kontra dalam sebuah forum secara substansional justru cukup menjadi motivatif, pertanyaannya cukup sederhana, apakah semua dapat menerima dengan hati sebagai mahasiswa? Abstrak. Sebagai mahasiswa, akan lucu sekali ketika kita menjadi anti kritik, ruang-ruang kritis tadi menjadi degradasi dalam diskursus-diskursus kemahasiswaan. Bisakah anda-anda, sahabat-sahabat semua membayangkannya? Bayangkan bila forum dwi tahunan ini menjadi ajang pembuktian represif-primitif dan berkontinyuasi? Banyaknya aparat keamanan yang bersiap siaga di Venue acara justru secara sederhana menggambarkan akan adanya sebuah praktek anarki dalam kongres, bahkan dari tahun ke tahun, setiap kongres, panitia (baik lokal maupun nasional) dan juga pemda setempat pasti akan ‘menyewa’ aparat keamanan setempat, untuk ini lain lagi, aparat justru lebih brutal dan anarkisitis dari mahasiswa. Lag-lagi ironis, arena kongres bak arena perang antara mahasiswa-mahasiswa dan mahasiswa-aparat.
     Fenomena yang kemudian menjadi pekerjaan rumah kita bersama adalah ketika kita bisa mengeliminir revans pada hajatan sebelumnya, buat itu menjadi sebuah pembuktian bahwa dendam positif akan sangat manis bila dijadikan acuan.
     Sebagai mahasiswa pergerakan, kritik membangun yang disertai solusi rasional adalah manifestasi kita sebagai intelektuil yang peka, tatkala sahabat-sahabat pengurus cabang cukup aprioristis dengan adanya kongres, cukup beralasan dan wajar adanya. Namun, kita harap bersama bahwa hal tersebut bukan bersumber dari tidak adanya kandidat yang meminang mereka, yang kita harap, mereka punya alasan kuat ketika skeptis secara persuasif, bahkan represif.
Proaktif
     Pesta demokrasi yang cukup “representatif” dan banyak dihadiri oleh sahabat pengurus rayon dan komisariat ini juga menjadi ajang pembelajaran, diluar struktur, yang bahkan tidak mempunyai hak suara, juga cukup proaktif. Namun, yang mempunyai hak suara dan diharapkan menjadi tauladan baik bagi juniornya justru menjadi proaktif-represif, semoga terkoreksi.
    Sepertinya, sekarang sudah menjadi rahasia umum ketika organisasi-organisasi kemahasiswaan, kepemudaan, partai politik hingga anggota legislatif yang hanya beradab dan berwibawa diluar forum-forum formal demisioner dan paripurna, yang pasti mereka akan terlihat seperti apa yang dikatakan Nietzsche tadi ketika berada didalam forum yang prestisius dan menentukan.

*Oleh: Don Gusti Rao, Mahasiswa Ilmu Politik, Sekertaris I PMII Jakarta Selatan,
Pemimpin Redaksi Buletin IQRA PMII UNAS Jak-Sel, Wakil Ketua Senat FISIP UNAS

Semoga Kau tak Tuli Tuhan (sajak ketika sinar terang tak seterang yang kau bayangkan)

Saat ini, semuanya seperti absurd…
Detik ini, rambutku kusut, menjadi sangat riskan ketika larut malam terjaga karena hal yang bodoh…
Sementara masih ada dua orang yang entah apa maunya selalu berfikir konservatif, tidak mau tahu, tidak mau perduli, tetapi mau uang? Yang penting makan dan rokok…
Di sisi lain, orang yang semakin tua dan dulu di kagumi itu bagaikan sampah tak berharga, bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya, dan yang lebih lucu lagi, beliau di hina! Di caci, dan… ya sudahlah… apa mau di kata, maunya sih menghantam, memberi perhitungan, tapi nanti malah disintegrasi! Lho?
Setelah di fikir, di telaah, dan di fikir kembali, tidak ada untungnya, kalau emosi yang berbicara, sama saja seperti anjing yang sedang berlari, kerbau yang sedang di pecut untuk membajak, dan atau malah seperti bintang porno yang sedang bercinta… emosi bukan solusi,
Dan, apa? Tuhan?? Ya, percaya?? Pasti!
Mendekatkan diri kepada-nya saja bisa dihitung dengan jari satu tangan, apalagi mau berdoa! Tapi, bukankah berdoa itu gratis? Tak terbatas ruang dan waktu…
Apa tuhan tuli?? Yang benar saja, dia itu tuhan, maha sempurna!
Semoga kau tak tuli tuhan, virgiawan listanto cukup frontal,
Lalu dua orang tadi? Dia sedang menikmati menjadi raja para raja, tinggal menunggu uang jatuh dari langit, harta karun yang menyembul dari bawah tanah… dan… dan… menunggu beliau mangkat… ehm! Bangsat! Kata yang rasional untuk di ucapkan.
Semoga kau tak tuli tuhan, virgiawan listanto cukup frontal,
Lalu mau apa? Mengambil benda tajam di kamar hampa lalu menghunusnya? Bukan jalan keluar… diam-diam memukul kepalanya dengan botol ketika dia tidur? Pasti hari esok akan ada di acara televisi. Huh! Padahal tidak lama lagi mau ke sumatera, dengan catatan, selesai semua di ibu kota…
Semoga kau tak tuli tuhan, virgiawan listanto cukup frontal,
Bukan cari jalan keluar, malah kawin! Amoral!
Ah, seperti frustrasi saja, padahal hanya iseng-iseng… lelah membaca buku, lelah menonton televisi, lelah mendengar musik, lelah dengan fenomena bulan ini…
Semoga kau tak tuli tuhan, virgiawan listanto cukup frontal,
Oh ya, dua orang tadi, hati-hati yaa…
Semoga kau tak tuli tuhan, virgiawan listanto cukup frontal.
151010, 00.26 WIB @kamarhampa

Bulan Desember, Bulannya FISIP UNAS

     Secara kultural, kita ketahui bersama bahwa bulan Desember adalah bulan yang cukup sibuk bagi mahasiswa FISIP UNAS, khususnya bagi kawan-kawan aktifis ekstra maupun intra, bagaimana tidak, bulan Desember adalah bulan ‘demisioner’ bagi FISIP UNAS, bulan dimana makin dinamisnya konstelasi FISIP UNAS, pertarungan sengit menuju nomor satu di Himpunan Jurusan, BPM ataupun Senat. Bulan sibuk juga bagi kepengurusan yang akan di demisioner, sibuk dalam penyusunan Laporan Pertanggungjawaban dan strategi dalam menghadapi musma. Bagi para calon yang akan bertarung menjadi yang pertama, ini akan menjadi fenomena tersendiri, dimana para tim sukses dan organisasi koalisi sibuk ‘mencari’ massa cair untuk sebuah keyakinan dan pilihan, di sisi lain ia juga sibuk memperkuat keputusan, mental dan sikap.
     Bila mendengar guyonan teman, bahwa bulan ini adalah bulan yang sesungguhnya bagi pemetaan politik kampus, lupakan sejenak hura-hura dan Hedonisme yang sekarang agaknya mulai menghinggapi para aktifis. Saatnya berpolitik ria, saatnya “berlatih” dalam membuat sikap, isu, pencitraan, Bargening, kontrak politik dan tentu saja, belajar menjadi seorang mahasiswa yang kapabel dalam konteks implementasi tanggung jawab sebagai organisatoris.
     Banyak sekali nuansa politis di sini, organisasi ekstra sibuk mempromosikan kader-kader ‘terbaiknya’ untuk duduk menjadi nomor satu di lingkup intra. Dan karena ini kental akan nuansa politis, sikap pragmatis memang akan terkesan normatif, namun ini agak riskan apabila terbentur dengan pemetaan dan fakta empiris yang berlangsung lama di kampus perjuangan UNAS.
     Terlepas dari demisioner Senat dan BPM yang agaknya mundur dari jadwal pada tahun ini (2010), kegiatan rutin Himpunan Jurusan berakhir sesuai dengan yang kita harapkan semua, cenderung kondusif. Ya, harapan kita semua terhadap Musyawarah Mahasiswa / Demisioner BPM dan Senat pun serupa, kondusif dan optimal.
Kontribusi Sebagai Mahasiswa FISIP
     FISIP adalah garda terdepan dalam konteks mengkritisi dan mengevaluasi kebjakan, baik dikampus maupun isu nasional. Secara korektif, akan dielaborasi oleh mahasiswa FISIP yang memang ‘makanan mereka’ hal-hal seperti itu. Tanpa bermaksud merendahkan fakultas lain, mahasiswa FISIP secara tidak langsung akan ditempa naluri kritis dan berani berbicara lebihnya tanpa menanggalkan esensi akademis. Lewat kelas, diskusi dan tentu saja: organisasi, maka dari itu, alamat sangat ruginya ketika anda mengaku mahasiswa FISIP, namun tidak memiliki organisasi (ekstra kampus) yang akan menampung, mengapresiasi dan mengasah naluri anda sebagai mahasiswa dan insan akademis.
     Lalu bagaimana kontribusi mereka (mahasiswa FISIP) terhadap bulan Desember ini? Bagaimana kepekaan mereka terhadap Musyawarah Mahasiswa? Dengan ‘trah’ politik yang selama ini dibangun di FISIP? Pertanyaan yang sulit dan tentu saja abstrak bila menelaah fenomena saat ini, jawabannya ambigu, antara dilematis dan relatif.
     Tugas kita saat ini adalah – selain tugas sebagai mahasiswa & organisatoris tentunya – adalah membangkitkan jiwa-jiwa mereka yang sedikit tertutup oleh hingar bingar & hegemoni menjadi mahasiswa baru, menstimulisasi mereka bahwa pelajaran yang didapatkan didalam kelas hanya beberapa persen dari kebutuhan mereka sebagai mahasiswa, penyumbang terbesar pengetahuan anda sebagai mahasiswa adalah buku, diskusi, dan organisasi.


    Setelah bulan FISIP ini berakhir, saatnya fokus kembali kepada agenda rutin organisasi masing-masing, sambil menyiapkan kaderisasi yang wajib untuk dijalankan demi keberlangsungan eksisitensi bersama, disisi lain juga menempa dan mencari bibit-bibit unggul yang akan dipersiapkan menjadi HMJ 1, BPM 1 dan Senat 1. 
    Dan terakhir, selamat kepada Sahabat/I yang terpilih menjadi ketua Himpunan Jurusan, tugas dan amanat menanti anda!.
(Redaksi, Buletin IQRA, Edisi X, Tahun Ke V, Januari - Februari 2011. Hal 18)