...

BLOG INI PINDAH KE: doni-rao.blogspot.com

Senin, 26 September 2011

Ragam Telaah Konsepsi Agama-Bangsa*


“Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer (pengorbanan) ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan, supaya Indonesia merdeka lekas damai”.

               Meminjam K.H Firdaus A.N.[1], “rayuan Soekarno” yang fasih tersebut berhasil mengelabui kubu Islam dalam pengurangan tujuh kata sakral piagam Jakarta, yang kemudian bersama kubu nasionalis lain seperti Bung Hatta meyakinkan KI Bagus Hadikusumo yang dianggap mewakili tokoh-tokoh Islam lain pada pagi hari sebelum sidang PPKI.
           Meski tdak bisa dikatakan sebagai awal konflik antara “kubu” Nasionalis – Islam, namun ini di yakini cukup menjadi embrio yang kemudian sebagai parameter polemik klasik keduanya.
            Kubu nasionalis-sekular, dengan prularitasnya memang menginginkan negara inklusif yang bersahaja, walaupun di peruntukkan bagi pemeluknya, syariat Islam dalam piagam Jakarta dinilai akan menjadi sebuah sentimental agama dan gurita disintegrasi dalam negara yang masih hijau. Mereka peka bahwa ini bisa di jadikan sebagai senjata ampuh untuk kemudian menggalang kekuatan menjadi sebuah negara teokrasi eksklusif. Beberapa cendikia muslim yang dianggap radikal terbukti mengimplementasikannya lewat beberapa kup tatkala Indonesia masih merasakan hegemoni kemerdekaan awal. Padahal, awam pun mahfum, negara teokrasi dengan ke-khalifah-annya adalah utopia besar di tengah pemikiran-pemikiran kecil bila di terapkan di Indonesia. Sebuah hal yang mubazir, tatkala memaksakkan khalifah di negara bhineka yang notabene terdiri dari berbagai umat, mengapa tidak serta merta membuat paradigma kritis tentang konsepsi negara Rasul? Negara dengan tingkat relijiusitas tinggi yang mengakomodir berbagai umat. Indonesia pun dulu di yakini adalah ejawantah dari negara Rasul, yang menjadi wadah lintas umat.
                Kembali ke piagam Jakarta, yang menarik, disela pertentangan kubu yang dianggap radikal dan tidak bisa menerima pencoretan tujuh kata tersebut dengan kaum nasionalis-sekuler, terselip kisah SARA yang dinamis, kisah (konon) tendensi sepihak akibat sentimentil ke - agamaan. Adalah Dr. Sam Ratulangi, politisi Kristiani Manado yang dikatakan mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan normatif tersebut.[2] Sebelumnya, politisi kristiani lain, A.A. Maramis, turut dengan tulus menandatangani piagam bersejarah bersama sembilan orang perwakilan agama dan golongan lain. Diyakini, hal tersebut – peran Sam Ratulangi – masih simpang siur, mungkin karena cukup sensitif dan riskan. Selain itu, validitasnya tidak kuat karena satu-satunya buku yang mengulas kejadian tersebut adalah terbitan Cornell University,[3] Amerika Serikat, terkesan provokatif.
Disintegrasi laten
                Prof. Dr. Hamka Haq, penulis buku Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam ketika berkunjung ke Makassar dan berkomunikasi dalam sebuah forum dengan pemeluk Hindu,[4] mendapatkan sebuah argumen yang menarik, si pemeluk Hindu itu berkata, “kami tidak berkeberatan dengan syariat Islam yang di peruntukkan bagi pemeluknya, tapi jangan terkejut, ketika nanti begitu banyak muslim yang berbondong pindah keagama kami”. Ya, dengan begitu, mudah bagi kaum muslim untuk menjadi sebuah klaim pada saat persidangan kejahatannya, bahwa pada saat itu juga berpindah agama, agar terhindar dari syariat islam yang di peruntukkan bagi pemeluknya. Ini menggelikan, niscaya agama dijadikan sebagai wahana bermain dalam konsepsi kejahatan, dalam taktik kriminalitas. Membebaskan mereka memainkan agama tanpa sebuah manifestasi yang solutif adalah fikiran kerdil.
                Faktor fundamental pemikiran Piagam Jakarta mungkin tidak terlalu kritis mengarah kesana, menganggap hal itu wajar adanya. Padahal adalah sebuah kekeliruan besar disaat negara madya sibuk mengurusi jatidiri dalam ruang relijiusitas di campuri oleh praktek-praktek konyol.
“Terpelihara” dengan baik         
                Konflik tersebut pun bermetamorfosa hingga kini, bak bola salju yang semakin besar, polemik meluas dan semakin mengena pembahasannya terkait sebuah ideologi yang disakralkan pada Orde Baru: Pancasila. Meminjam Gus Dur, bahwa pancasila adalah manifestasi-implisit dari berbagai ideologi besar dunia yang hegemonial di Indonesia, Agamais yang memang condong ke Islam lewat frasa “Ketuhanan yang Maha Esa”-nya diwakili oleh sila pertama,. Sosialisme yang merupakan fundamental dari seluruh ideologi dunia ada pada sila ke dua, sila ketiga manifestasi dari Nasionalisme, sila ke-empat mewakili prinsip-prinsip demokrasi, dan komunisme lewat egalitariannya termaktub pada keadilan sosial pada sila pamungkas.
                Pancasila yang secara substantif dilahirkan pada masa Majapahit, akibat salah persepsi, memang terkesan menjadi tameng bagi kaum Nasionalis. Sakralisasi Pancasila – yang memang tidak perlu – menjadikan kaum Islamis konservatif merasa jijik dan wajib melakukan koreksi mendalam pada sebuah fenomena yang parsial. Semua kemelut keagamaan-kebangsaan pada saat dan pasca Orde Baru di nakhodai oleh isu seksi Pancasila dan asas tunggalnya menjadi hal yang sensitif.
           Lahir pula berbagai organisasi yang secara ideologi bersikap korektif terhadap pancasila, konsekuensi demokratisasi pasca berakhirnya rezim otoritarian. Kelompok-kelompok radikal yang memang alergi terhadap Pancasila terus bergerak secara under ground, bermain bersih secara persuasif, doktrinasi yang dilakukan secara komperhensif tidak jarang menjadikan regenerasi-kaderisasi yang optimal, yang menghasilkan kader-kader akademis. Sasaran jelas, pada akar rumput yang masih hijau, karakteristik yang dibentuk sejak dini untuk kemudian mendikte asas tunggal.
                Kekeliruan yang masih terpelihara dalam track Pancasila adalah produk-produk Orde Baru, seperti asas tunggal misalnya, asas yang lahir dari sebuah ketakutan rezim dinilai sudah kadaluarsa bila diterapkan saat ini. Kata kuncinya hanya satu: setiap asas yang secara ideologi maupun implementasi tidak kontraproduktif dengan nilai-nilai Pancasia. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI,[5] sedikit mengkoreksi, menurutnya perlu dipertimbangkan kembali penerapan asas tunggal Pancasila pada organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Pada masa Orde Baru, hal itu dipaksakan dengan tekanan. Apakah sekarang dapat dilakukan dengan sukarela? Bila Undang-Undang mengenai politik, kepartaian, dan organisasi kemasyarakatan membolehkan adanya ideologi lain di luar Pancasila (Asal tidak kontraproduktif), bukankah itu memberi peluang munculnya kembali perdebatan lama yang sesungguhnya tidak produktif? Memang diakui, selain dari keran kebebasan pers, di buka seluasnya kebebasan berdemokrasi.
          Yang memang perlu sedikit di wanti adalah banyaknya ormas islam yang tidak kaku mempertontonkan keradikalannya, padahal sudah jelas secara nilai jauh dari Pancasila. Inilah yang sukar terealisasi, mau di teropong dari sudut pandang manapun, tidak ada kontraproduktif anatara Islam dan Pancasila, meminjam pak Tjokro, pengarang buku Islam dan Sosialisme yang mahsyur itu, kerangka fundamental islam adalah sosialisme. Secara esensi pasti mempunyai prinsip adil dan sama rata-sama rasa, egaliter. Pun dengan Pancasila yang gandrung akan nilai sosialisme. HTI, yang menurut Ulil Abshar Abdalla adalah ancaman serius bagi NKRI dibanding NII.[6] Ormas yang dikenal gemar long march ini memang secara terang-terangan menegaskan ingin mendirikan Khilafah Islamiah di negara majemuk ini. Bagaimana dengan Front Pembela Islam yang memang cukup tegas membela prinsip islam? Habib Muksin dalam sebuah diskusi di Megawati Institue menjelaskan bahwa FPI dari dulu tidak menolak Pancasila, ia mengatakan FPI hanya menolak dengan tegas oknum-oknum yang mensakralkannya.
               Asas tunggal memang sebuah kekeliruan yang wajib di koreksi, namun dengan munculnya ormas yang bisa menjadi sebuah ultimatum kontekstual, koreksi tersebut tidak mudah, butuh waktu dan konsesus bersama.
               Bangsa adalah sebuah spektrum besar yang di dalamnya terdapat manusia yang mempunyai hak hidup dan hak berideologi, analogi sebuah laut, tidak hanya Hiu saja yang dengan keperkasaan dan keangkuhannya hidup di dalam dengan sewenangnya, ikan-ikan kecil yang sudah ditakdirkan menjadi mangsa pun berhak untuk mencicipi asinnya air laut, terserah bagaimana Hiu itu dapat menjaga ritme kapan dan dimana untuk menyantap ikan-ikan kecil tersebut, butuh jarak dan dimensi waktu yang sinambung untuk menikmatinya, agar tersedia esok hari bagi keluarga dan spesiesnya. 
           Tulisan ini tidak menjadi sebuah elaborasi mendalam terkait historia agama dan nasionalisme (bangsa) dari masa ke masa, namun menjadi tinjauan praktis sebagai sebuah refleksi. Tak dinyana, pertarungan ideologi bak teka-teki “telur atau ayam” pada masa kecil dulu, sukar di tebak. Meminjam cendikia lokal bahwa ideologi tidak akan pernah habis, ia akan terus berproses dan berkontinyuasi, datang dalam segala bentuk, berbagai wajah dan wacana.

*Oleh: Don Gusti Rao 
Sabtu130811.15:31 @ Ruang Tengah


[1] Dalam “Dosa-dosa Politik Orde Lama dan Orde Baru yang Tidak Boleh Berulang Lagi di Era Reformasi” Hal.64
2 Ibid. hal 67
3 Ibid
4 Dalam diskusi dan bedah buku, “Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam” karya Prof. Dr. Hamka Haq, M.A. di Megawati Institute, 10 Agustus 2011
[5] “Berpancasila Jangan Tanggung” Koran Tempo, edisi 31 Mei 2011, hal A 10
[6] Diskusi “Gerakan Tangkal NII”, Kamis 26 Mei 2011 di PB PMII

Ki Hajar Dewantara, Sebuah Refleksi*


           Saat ini, dalam lingkup akademis, siapa yang tidak kenal Ki Hajar Dewantara, tokoh yang awalnya aktif dalam pergerakan politik ini menjadi embrio pemikir dalam perspektif pendidikan. Di balik hegemoni KHD dalam setiap tulisan tentangnya, sosok tersebut ditelaah dalam kelas Sekolah Pemikir Pendiri Bangsa yang di bawakan Giat Wahyudi dari Yayasan Bung Karno. Seperti biasa, muncul diskursus-dialektika tentang sepak terjangnya, baik dalam dunia politik maupun pendidikan.
            Bagi saya, sosok “revolusioner” KHD dalam dunia pendidikan serta sepak terjangnya sebagai aktifis politik dan wartawan mempunyai tiga poin yang menarik untuk di elaborasi secara konferhensif:
·         Pergeseran KHD dari dunia politik ke dunia pendidikan
·         Kategorisasi KHD sebagai sosok “revolusioner” dalam lingkup pendidikan
·         Strategi KHD dalam mengajar, dalam lingkup pendidikan
·         Peran serta dalam pra kemedekaan: Nasionalisme atau Etnonasionalisme-Jawaisme?
Pergeseran paradigma
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.[1] Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
KHD muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, KHD diajaknya pula.
Ini adalah fenomena menarik, dimana KHD yang dikenal sebagai aktifis politik kemudian – pasca “di buang” ke Belanda – bergeser paradigma ke dunia pendidikan. Walaupun akhirnya namanya cukup mentereng di dunia pendidikan, namun menjadi sangsi ketika hal itu terjadi pasca pengasingan dalam sepak terjangnya sebagai aktifis politik. Perspektif liar pun mengemuka menjadi seperti sebuah desain bahwa imperial Belanda memobilisasi individu kritis seperti KHD untuk meninggalkan dunia politik, terlepas dari kemudian hegemonial KHD dalam dunia pendidikan.
Kategorisasi KHD
            Dunia pendidikan konserfatif yang dikomandoi oleh sistem “santri” yang cukup popular di daerah-daerah, dianggap menjadi sistem yang mumpuni untuk Indonesia pada saat itu, apalagi sebagian besar non-priyayi yang tidak bisa masuk sekolah elit seperti STOVIA/HBS.
            KHD muncul dalam labirin sistem santri yang dianggap melulu tentang agama yang kental dengan ortodoksinya. Sistem pendidikan yang dia ubah menjadi sistem pendidikan umum – yang dia dapat dalam pembuangan di Belanda – non kelas tanpa meninggalkan esensi keagamaan.          
Menarik, teringat dengan KH. Wahid Hasyim, santri tulen ayahanda KH Abdurrahman Wahid, seorang moderat muslim dalam dunia pendidikan yang di anggap revolusioner tatkala memberikan sumbangsih pikiran tentang perlunya ilmu pendidikan umum di dunia pesantren. KH. Wahid Hasyim pun menjadi orang yang berperan dalam me-moderasi paradigmais santri pesantren, ini dibuktikan ketika dia yang notabene putra Hadratus Syeikh Hasyim Asyari berani dengan lantang memakai celana panjang di dalam lingkup pesantren, cukup berani dan revolusioner masa itu.
Pertanyaanya, setelah tanggal kelahirannya di jadikan hari pendidikan nasional (yang masih menjadi kontroversi hingga saat ini), dan semboyannya dijadikan slogan Kementerian Pendidikan Nasiuonal Indonesia. Apakah dia layak di kategorisasi menjadi seorang Revolusioner pendidikan layaknya KH. Wahid Hasyim?
Strategi dalam mengajar
        Giat Wahydi, dalam persentasinya di kelas ke enam Sekolah Pemikir Megawati Institute, menerangkan salah satu fenomena yang menarik dari tata ajar KHD adalah ketika beliau mengajar, dan ada salah satu murid yang bermain kelereng, beliau tidak memarahinya, namun terus melangsungkan kegiatan.
Dalam proses belajar ajar di ruang kelas KHD juga melarang setiap guru atau pamong menghukum dan memarahi siawa-siswinya, walau dalam keadaan bagaimanapun. Tampak dalam  proses ini KHD memberikan kebebasan luar biasa bagi sebuah proses pendidikan.
Paradigma pendidikan yang universal dan progresif jarang dipahami, seperti postulatnya yang terkenal dalam menghadapi dominasi sistem pendidikan kolonial, dalam praksis: setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolahan, jelas menggambarkan pola pendidikan yang radikal dan telah menempatkan alam terkembang sebagaiuniversitas kehidupan.[2]
           Kritik menarik, apakah sistem pengajaran tersebut ampuh? Memang belum ada sebuah pembuktian komperhensif tentang ini, namun, pemikiran tersebut menjadi model kritik tajam bagi sistem masa kini. Lalu, apakah dengan membiarkan siswa bermain kelereng pada kegiatan belajar mengajar tidak merupakan manifest dari kemanjaan tanpa sedikitpun bernuansa akademis? Apakah juga KHD membiarkannya karena keterbatasan penglihatannya yang agak bermasalah?
Nasionalisme atau Jawaisme?
            Ada sebuah anekdot kritis yang berkembang tentang pahlawan-pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia, nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Pattimura dan lainnya adalah pahlawan etnonasionalis kedaerahan, mereka “memberontak” ketika daerahnya di usik, jadi bukan karena integritas nasionalisme Indonesia di bawah praktek kolonialisme.
Pun dengan KHD, yang dianggap membuat sebuah terobosan kritis dalam lingkup pendidikan hanya untuk etnis Jawa, bukan untuk warga Indonesia secara keseluruhan.
Memang peradaban Jawa yang dianggap lebih modern menjadikannya melahirkan berbagai cendikia yang melahirkan paradigma konsep ketata negaraan yang lebih maju, menjadikan klaim distorsif Jawaisme yang kental.

*Oleh: Don Gusti Rao, Peserta pada kelas Sekolah Pemikir Pendiri BangsaMegawati Institute


[2] “Mengenang Si Drop Out, Dewantara (Setiap Orang Guru dan Setiap Tempat Sekolahan) dalam Harian Rakyat Merdeka, Minggu Pahing, 6 Mei 2001/12 Shafar 1422, Hal 3

Sosialis-Islamis Tjokro*


          Dari semua literatur tentangnya, sudah beragam telaah mengenai pemikiran sosialisnya. Pun dengan buku Islam dan Sosialisme, sosialisme di terangkan sebagai kerangka islam kontekstual. Esensi dari seluruh ideologi dunia adalah apa yang di namakan dengan sosialisme, yang merupakan faktor fundamental.
            Haji Oemar Said Tjokroaminoto lahir pada 1882, dari keluarga priyayi di Ponorogo.  Pada awalnya, ia juga mengikuti jejak kepriyayian ayahnya, sebagai pejabat pangreh praja. Ia masuk pangreh praja pada tahun 1900 setelah menamatkan studi di OSVIA, Magelang. Pada tahun 1907, ia keluar dari kedudukannya sebagai pangreh pradja karena ia muak dengan praktek sembah-jongkok yang dianggapnya sangat berbau feodal. Ia kemudian hijrah ke Surabaya, ikut sekolah malam tehnisi dan kemudian bekerja menjadi tehnisi di pabrik gula Rogojampi. Setelah SI berdiri, ia keluar dari pekerjaan dan menjadi pemimpin pergerakan di Surabaya. Dari pergerakan inilah –lewat memimpin SI dan Perusahaan Setia Oesaha- ia mampu mencukupi kehidupannya.Sebagai pemimpin SI, ia dipuja bak ksatria menang setelah perang. Ia dianggap orang yang berbakat dan mampu memikat massa. Bahkan ia juga merupakan guru yang baik, dan mampu melahirkan tokoh-tokoh pergerakan hingga awal kemerdekaan. Diantara murid-murid Tjokro yang terkenal adalah Sukarno, Kartosuwiryo dan juga Musso-Alimin. Sukarno, sebagaimana dikenal luas, adalah murid dan penghuni pondokan Tjokro, serta juga menantu Tjokro. Sukarno menyerap kecerdasan Tjokro, terutama dari gaya berpidato. Pada masa kemerdekaan, Sukarno dikenal sebagai tokoh nasionalis, proklamator dan presiden R.I. Kartosuwiryo, juga pernah beberapa tahun tinggal bersama Tjokro. Setelah kemerdekaan, Kartosuwiro mendirikan Darul Islam sebagai perlawanan terhadap Sukarno. Musso-Alimin, dua tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), juga merupakan murid Tjokro. Keduanya, Pada tahun 1948 di Madiun, juga bertarung dengan Sukarno. Jadi pertarungan Nasionalisme Sukarno- Islam Kartosuwiryo-Komunis Musso/Alimin, adalah pertarungan antara murid-murid Tjokro. Hal ini mengisyaratkan bahwa Tjokro ditafsirkan berbeda oleh para muridnya. Dalam beberapa hal, ide Tjokro lebih dimengerti Sukarno yang mengolahnya menjadi Nasakom, sebagai lambang persatuan nasional.
            Disaat masuk dalam wilayah pergerakan nasional, Tjokro pada awalnya mulai dikenal sebagai pemimpin lokal Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Dalam aktivitas-aktivitas SI, Tjokroaminoto yang kemudian menduduki posisi sentral di tingkat pusat, menjadi demikian berpengaruh bukan hanya karena ia adalah redaktur Suara Hindia, tetapi  juga karena tidak adanya orator saingan dalam vargadering-vargadering  SI yang sanggup mengalahkan “suara baritonnya yang berat dan dapat didengar ribuan orang tanpa mikrofon”.  Dibawah kepemimpinannya, Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar dan bahkan mendapat pengakuan dari pemerintahan kolonial. Hal ini tidak lain, adalah sebagai hasil pendekatan kooperatif yang dijalankan Tjokroaminoto.  Ketika terjadi polemik keanggotaan ganda dalam tubuh Sarekat Islam, Tjokro adalah tokoh yang menginginkan persatuan SI dapat dipertahankan. Ia lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai perekat antar pihak yang bertikai, walau dalam beberapa hal ia lebih dekat kepada kelompok SI- Putih. Menjelang perpecahan SI, personalitas Tjokro mulai banyak dipertanyakan. Pada 6, 7 dan 9 Oktober 1920, Dharsono membuat artikel panjang mengkritik Tjokro yang dianggap menyengsarakan SI dengan pengeluaran kepentingan pribadinya yang berjumlah besar (3000 gulden). Dharsono menuduh secara tidak langsung dengan mengatakan bahwa Tjokro terlibat penggelapan, “mengapa CSI tidak punya uang…sedangkan Tjokro kelimpahan”, demikian tulis Dharsono.
Islam-Sosialis, sebuah dikotomi
            Selanjutnya, tepat ketika ia berumur 40 tahun, Tjokro mulai beralih kepada Islam dalam arti yang lebih serius. Pada September 1922, ia mulai menerbitkan artikel berseri “Islam dan Sosialisme” di Soeara Boemiputera dan mencoba mendasarkan pandangan sosialismenya pada Islam. Pada Kongres Al-Islam di Cirebon, 31 Oktober-2 November 1922, ia juga diangkat sebagai ketua kongres. Arti penting kongres ini, seperti dikatakan Agus Salim, yaitu untuk “mendorong persatuan segala golongan orang Islam di Hindia atau Orang Islam di seluruh dunia dan Bantu-membantu” dan melihat Kemal Attaturk sebagai pemimpin teladan yang bekerja demi persatuan Islam (baca, Pan Islamisme). 
            Sebagai tokoh SI, ia kemudian melakukan tur propaganda ke pertemuan SI-SI local. Dalam pidatonya ia sudah melakukan pendikotomian antara Islam dan komunis. Baginya SI adalah berdasarkan Islam, dan karena kaum komunis itu Atheis (tidak bertuhan) maka komunisme tidak sesuai dengan SI.  Sesudah kongres CSI di Madiun, 17-23 Februari 1923, Tjokro semakin mengecam kaum komunis. Bahkan ia juga akan membentuk SI dan PSI tandingan, ditempat-tempat dimana kaum komunis melakukan kontrol terhadap SI. Dengan demikian, dimulailah suatu upaya disiplin partai, untuk membersihkan SI dari unsur komunis. Akibatnya kelompok SI pro-komunis, mengadakan kongres tandingan di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923. Dalam forum itu, Tjokro dikecam oleh HM Misbach, bahkan Tjokro dianggapnya sebagai racun karena dianggap melakukan pembohongan dengan dikotomi Islam-komunis. Misbach menuding bahwa Tjokro hendak menjadi raja dan juga mengungkit kembali skandal Tjokro yang pernah diungkap Dharsono. Secara substansial, Misbach juga menolak dikotomi Tjokro, baginya Islam dan komunis adalah sama, karena memperjuangkan sama rata-sama rasa. Kecaman Misbach terhadap Tjokro, mendapat kecaman balik dari Sukarno, sehingga pada akhirnya Misbach-pun meminta maaf atas pidatonya yang menyinggung.
            Pada perkembangan pemikiran Tjokro selanjutnya, tidak banyak berubah. Saat ia berpidato mengenai Islam, hal ini banyak ditujukan bagi symbol persatuan nasional.  Tjokro misalnya berpendapat bahwa solidaritas bumi putra dibangun atas nama Islam. Dan orang-orang diberitahu bahwa semua anggota SI bersaudara, terlepas dari umur, pangkat dan status.
            Setelah menemukan Islam, maka Tjokro memberi geist baru bagi Islam yaitu dengan sosialisme, yang coba digali dari dalam Al-Qur’an. Tampaknya, Tjokro sadar akan bahaya sosialisme yang dengan “keseksiannya” banyak menarik pengikut dari aktivis pergerakan. Jika Islam dimaknai secara pasif, bukan suatu unsur yang “seksi”, menarik dan berjuang bagi perubahan, maka langkah Islam tidak akan beranjak dari fungsi praktik ritual belaka. Bagi Tjokro, Islam adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan di persatukan, sebagai dasar kebangsaan yang dibangun dalam proses menuju Indonesia.

*Oleh Don Gusti Rao, Refleksi pada kelas ke lima sekolah pemikir Megawati Institue. 
Referensi: Humaidi, “H.O.S Tjokroaminoto: 
Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia”, FIB UI.

Jumat, 22 Juli 2011

Kartini, di Balik Hegemoninya*

        Setiap orang pasti akan menerka dengan leluasa tatkala ditanya perihal pahlawan wanita Indonesia, dari sederet nama-nama beken seperti Cut Nyak Dien, Kristina Martha Tiahahu, Dewi Sartika dan lain sebagainya, nama Kartini-lah yang begitu cukup hegemoni.
        Alasan yang cukup kuat ketika – khususnya Cut Nyak Dien dan Kristina Martha Tiahahu – beberapa pejuang wanita memilih cara “progres represif” untuk membenamkan imperialis-kolonialisme. Lain hal nya dengan Kartini, yang dengan tulisan dan surat-suratnya secara persuasif menyembulkan benih-benih perlawanan terhadap imperialis-kolonialisme Belanda, apalagi pada saat itu, praktek-praktek patriarkial sangat menyeruak, baik dikalangan imperialis maupun pada bumi putera lewat fenomena feodal darah birunya.
        Pada diskusi ke dua kali ini, di Megawati Institute. Terbuka mata bagi paradigmais awam bahwasanya pemikiran Kartini tidak sesederhana yang dibayangkan, tidak semudah seperti lagu karya W.R Soepratman yang dinyanyikan sejak sekolah dasar. Terbuka pula sisi lain di balik hegemoni sang pahlawan yang katanya hanya layak disebut sebagai pahlawan etno-nasionalis ini – karena dianggap hanya berbicara untuk ruang lingkup Jawa saja, tak pernah menyinggung suku atau bangsa lain di Indonesia/Hindia Belanda. Pemikiran-pemikirannya dituangkan dalam rangka memperjuangan nasib perempuan Jawa, bukan nasib perempuan secara keseluruhan.
***
        Saya tidak perlu mengulas sejarah, pendidikan hinggga jasa-jasa beliau lebih mendalam, karena saya yakin hal itu sudah cukup di kupas pada beribu artikel yang sudah ada.
      Yang menarik, ketiak banyak juga wacana – termasuk saya – yang ingin menggali sisi lain ihwal kontroversional sang tokoh, ada salah satu peserta dengan “cukup menohok” menyangsikan Kartini sebagai pahlawan emansipatoris. Kultur priyayi pada zaman itu memang sangat mengekang wanita, kaum patriaki lebih leluasa dengan dukungan adat jawa yang memang dinilai sangat sakral. Pun dengan Kartini yang didampuk menjadi istri keempat bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Oleh kaum feminis saat ini, fenomena poligami Kartini tersebut – terlepas dari kungkungan “sistem” pada saat itu – menjadi lahan empuk untuk menyangsikan kapasitas nya sebagai pejuang emansipasi. Poligami dinilai – diluar perspektif agama yang melegalisasi – sebagai awal kejatuhan wanita yang beranjak dewasa, yang sudah layak untuk dinikahkan. Sama saja seperti mengamini bahwa wanita, bagaimanapun perkasanya dia, tetap berada di bawah ketiak kaum pria. Walaupun dalam berbagai kesempatan Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami.[1] Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk dimadu pula
        Hal lain yang saya kemukakan di dalam termin pertama forum adalah, yang membuat pemikiran Kartini cukup begitu diperhitungkan adalah bukan semata[2] karena kepekaan-nya terhadap fenomena hegemoni patriaki, buka juga semata karena meihat “ada yang tak beres” yang menimpa saudara-saudaranya yang di poligami. Tetapi lebih kepada kungkungan secara personal yang menimpanya, sistem priyayi konservatif yang begitu kental.
     JJ Rizal, sang pemateri, tidak begitu eksplisit menanggapi statement saya, dia lebih terkonsentrasi menyingkap fenomena surat kartini yang direkayas J .H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu.
        Seperti diketahui, Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukaruntuk dilacak Pemerintah Belanda.[3]
        Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.[4] Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika dan lain-lain. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita.
        Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
***

Agama Kartini[5]
        Aspek spiritual keagamaan tokoh emansipasi ini mendapatkan berbagai ragam penilaian dan pandangan, dengan presfektif dan kepentingan yang beragam, bisa dilihat dari sisi kejawen, komunis, Islam, dan Kristiani. Sebagaimana terlihat dari tiga buku yang ditulis tentang Kartini.
  • Pertama, Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramoedya Ananta Toer (1962, cetak ulang tahun 2000);
  • Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara (1995); dan
  • Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini oleh Th Sumartana (1993). Tulisan ini juga menyinggung artikel St Sunardi, Ginonjing: Emansipasi Kartini pada majalah Kalam (No 21, 2004).
Sinkretisme
            Ada usaha untuk menggambarkan figur Kartini sebagai wanita yang menganut faham sinkretisme. Kartini mengatakan bahwa ia anak Budha, dan sebab itu pantang daging. Suatu waktu ia sakit keras, dokter yang dipanggil tak bisa menyembuhkan. Lalu datanglah seorang narapidana Cina yang menawarkan bantuan mengobati Kartini. Ayah Kartini setuju. Ia disuruh minum abu lidi dari sesaji yang biasa dipersembahkan kepada patung kecil dewa Cina. Maka ia dianggap sebagai anak dari leluhur Santik-kong dari Welahan. Setelah minum abu lidi persembahan untuk patung Budha itu, Kartini memang sembuh. Ia sembuh bukan karena dokter, tapi oleh obat dari ”dukun” Budha. Sejak itu Kartini merasa sebagai ”anak” Budha dan pantang makan daging.
            Pramoedya menulis, ”Bagi Kartini semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya pada sesamanya, yaitu masyarakatnya.” Kartini menemukan dan mengutamakan isi lebih daripada bentuk-bentuk dan syariat-syariat, yaitu kemuliaan manusia dengan amalnya pada sesama manusia seperti dibacanya dalam rumusan Multatuli: ”Tugas manusia adalah menjadi Manusia, tidak menjadi dewa dan juga tidak menjadi setan”.
            Menurut Kartini, ”Tolong-menolong dan tunjang-menunjang, cinta- mencintai, itulah nada dasar segala agama. Kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna keilahian daripadanya: karunia.” (hlm 235). Sebelumnya Kartini telah menegaskan, ”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam, dan lain-lain”.

 *Oleh: Don Gusti Rao, Refleksi pada Kelas Ke Dua Sekolah Pemikir Pendiri Bangsa Megawati Institute.
Disampaikan pada Kelas ke Tiga Tanggal 20 Juli 2011 di Megawati Institute.



[1] http://www.indonesiaindonesia.com/f/48467-ra-kartini/
[2] Bukan semata disini adalah implisit, jadi bukan tidak mungkin, namun tersirat.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
[4] Ibid
[5] Artikel pada halaman terakhir (hal 3) ini saya kutip dari: http://www.kerincigoogle.com/2011/04/inilah-sejarah-ra-kartini-dan.html . Saya merasa perlu mengutipnya karena walaupun bukan hal baru, namun minim dalam perspektif normatif, dan disertai referensi yang relevan.

Kamis, 07 Juli 2011

RM Tirto Adhi Soerjo: Sebuah Catatan Kecil Kelas Perdana*

             Saya yakin, di antara kami, para peserta kelas Sekolah Pemikir Megawati Institute pada awalnya tidak ada yang begitu mengenal beliau (RM Tirto Adhi Soerjo, selanjutnya RMTAS). Pun di amini oleh Hilmar Farid, pemateri pada kelas perdana yang membawakan genealogi pemikiran RMTAS. Selain Publisitas yang minim dan “tersaingi” oleh nama-nama beken pada zamannya, saya yakin, sentimental yang cukup begitu tinggi juga bermain.[1]
            Adalah Pramoedya Ananta Toer, seniman “kontroversial” yang mempunyai jasa besar menambah khasanah wawasan dan literatur tentang RMTAS, Tetralogi Buru lewat Minke-nya berhasil membuka mata para cendikia dan akademisi. Saya pun bergumam dalam hati, “bila tidak karena karya apresiatif Pram yang mengangkat RMTAS, diskusi di Megawati Intitute ini adalah ketidak-niscayaan belaka”. Lalu yang menjadi pertanyaan, mengapa Pram tertarik mengangkat kisah tentang RMTAS?, itulah statement yang saya lontarkan pada saat diskusi sudah melangkah terlalu jauh, dan memang sedang seru-serunya.
            Memang, dari sekian banyak forum yang saya lalui, forum di kelas perdana ini adalah salah satu yang paling komunikatif, saya cukup menikmatinya, sampai-sampai kuota untuk menanggapi persentasi pemateri pun ditambah hingga tiga termin, dan yang perlu dicatat, wacana yang dikeluarkan seluruh peserta pun menarik untuk di telaah bersama, menimbulkan beragam perspektif yang menjadikan forum melalang buana jauh, hingga keluar dari substansi, dan ini normatif.
            Yang menarik adalah statement dari saudara Hanafi pada saat termin pertama baru saja dimulai. Saudara Hanafi cukup begitu indah merepresentasikan akar yang tercerabut dalam diskusi ini, seakan “menelanjangi” pemateri bahwasanya RMTAS cukup begitu berperan dalam dunia pergerakan, ditandai dengan kontribusi besar RMTAS dalam mendirikan Sarekat Dagang Islam – yang kemudian bermetamorfosis menjadi Sarekat  Islam – namun hanya implisit disinggung pemateri. Namun, saya juga berfikir bahwa ini adalah genealogi pemikiran RMTAS, jadi, sah-sah saja bila disinggung secara implisit maupun eksplisit, yang penting definitif dan kontekstual.
            Memang, statement Hanafi tadi – yang cukup lama berbicara hingga diingatkan oleh moderator yang juga Direktur Program, Ibu Indah – cukup membuat saya terenyuh, lebih seksi membahas RMTAS dari segi peranannya di Sarekat Dagang Islam dari pada peranannya di dunia jurnalistik. Hilmar Farid pun tersirat menggambarkan bahwa di dunia jurnalistik ini lah nama RMTAS berkibar, di SDI cukup banyak tokoh berperan, namun di dunia jurnalistik RMTAS bisa dikatakan menjadi garda terdepan, pionir dalam memajukan dunia jurnalistik dan kewartawanan pribumi. Ya, mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.[2]
            Masih dalam dunia jurnalistik, RMTAS adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.[3]
***
            Sejujurnya, statement awal saya pun masih ditanggapi samar-samar oleh forum dan pemateri, semua tanggapan normatif, dan belum berhasil “membuka mata saya”. Cukup sederhana padahal, mengapa Pram tertarik mengangkat kisah tentang RMTAS?
            Rasa haus informasi ini pun membuat saya mencari artikel-artikel yang berelevansi di dunia maya, sebagai bahan referensi dan parameter. Lagi-lagi normatif, setiap artikel di Blog atau jurnal yang saya temui mengemukakan alasan normatif yang sudah saya dengar berkali-kali di dalam forum. Walaupun non-fiksi, karya “eyang” Pram ini menimbulkan apresiasi dan tanda tanya luar biasa, setelah saya elaborasi mendalam, mengerucut hingga satu kata: apresiasi. Karena tanggapan mereka semua hanya itu. Lalu ada alasan lain seperti: Pram menulisnya berdasarkan dokumentasi essai dan catatan pribadi R.M. Tirto Adhi Soerjo, jadi karena Pram memang sudah “mempunyai” catatan pribadinya.
            Akhirnya saya mencoba beranalisa sendiri, setelah jawabannya hanya itu-itu saja, berikut analias saya:
            Pramoedya Ananta Toer adalah seniman yang aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), semua orang tahu itu. Lekra adalah organisasi sayap kiri dan didirikan atas inisiatif D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta[4] pada tanggal 17 Agustus 1950. D.N. Aidit dan Nyoto saat itu adalah pemimpin Partai Komunis Indonesia yang baru dibentuk kembali setelah kegagalan gerakan Musso dalam Peristiwa Madiun.
            Lekra bekerja khususnya di bidang kebudayaan, kesenian, dan ilmu pengetahuan. Lekra bertujuan menghimpun tenaga dan kegiatan para penulis, seniman, dan pelaku kebudayaan lainnya, serta berkeyakinan bahwa kebudayaan dan seni tidak bisa dipisahkan dari rakyat.[5]
            RMTAS, (bersama Haji Samanhudi) adalah salah satu pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi Sarekat Islam (SI), dalam perjalananya – setelah RMTAS wafat – SI kemudian pecah, antara SI Putih pimpinan H.O.S Cokroaminoto dan SI Merah pimpinan Semaoen yang kental akan komunisme. SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri berpusat di kota Semarang. Sedangkan HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu tersebut.
            Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme.[6] Pada saat kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan komunis karena keduanya memang bertentangan. Di samping itu Agus Salim mengecam SI Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam kebijaksanaan keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang juga menentang pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto lebih condong ke SI haluan kanan (SI Putih).
            Bagaimanapun, suka atau tidak suka, RMTAS berpengaruh besar dan berelevansi signifikan pada awal berdirinya SI, yang menjadi tolok ukur adalah korelasi SI dengan komunis. Awamnya RMTAS (walaupun jauh hubungannya) menjadikan wadah SDI sebagai organisasi (politik) yang kemudian disusupi komunis. Substansinya adalah: SI Merah-Lekra-komunis. Jadi, Pram mengambil kedekatan komunisme mengambil RMTAS sebagai karyanya – disamping satu perjuangan karena sama-sama “berjuang” sampai menjadi tahanan politik.
*Oleh Don Gusti Rao, Refleksi pada Kelas Perdana Sekolah Pemikir Pendiri Bangsa Megawati Institute. 
Disampaikan pada Kelas ke Dua Tanggal 6 Juli 2011 di Megawati Institute.

           
               



[1] Ini ditandai dengan derasnya suhu politik waktu itu, selain itu, keaktifan beliau di dunia organisasi cukup mengundang sentimentil terhadapnya.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Tirto_Adhi_Soerjo
[3] Ibid.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Lekra
[5] Ibid.
[6] adalah paham politik yang lahir pada saat Perang Dunia II (April 1936) mengingkuti paham yang tertulis dalam al-a'mal al-Kamilah dari Jamal-al-Din Afghani Kemudian berkembang menjadi gerakan memperjuangkan untuk mempersatukan umat Islam di bawah satu negara Islam yang umumnya disebut kekhalifahan

Minggu, 26 Juni 2011

Fenomena Organisatoris : Antara Tanggung jawab dan Konsekuensi*

             Apa yang ada di benak anda ketika mendengar kata organisasi? Sekumpulan manusia yang cukup aktif dalam melaksanakan kegiatan, orang-orang yang belajar (dalam konteks luas) diluar lingkup pendidikan formal, atau mereka yang mempunyai ideologi sama sehingga mendirikan sebuah ‘perkumpulan’ untuk mengaktualisasi ideologinya. Ya, semua pendapat tadi cukup valid dan rasional. Spesifikasi, yang coba kita bahas disini adalah organisatoris dalam ruang kampus, yang lazim disebut sebagai aktifis, aktifis organisasi atau aktifis pergerakan. Biasanya organisasi ekstra kampus yang selalu dijadikan tolok ukur.
           Tidak dipungkiri, disemua aspek kehidupan, terdapat tanggung jawab dan konsekuensi, dalam menjalani hidup misalnya, ada berbagai macam agama, ibadah dalam agama merupakan tanggung jawab sekaligus konsekuensi. Kita semua sepakat bahwa ibadah adalah tanggung jawab umat beragama kepada tuhannnya, ini normatif. Lalu menjadi anomali ketika ibadah di jadikan konsekuensi, apabila berbenturan dengan sesuatu yang urgent sifatnya, ibadah akan menjadi konsekuensi untuk di laksanakan bahkan didahulukan. Relativisme dalam meneropong ibadah dalam dua konteks, tanggung jawab dan konsekuensi.
           Kembali ke tema, disetiap tahap awal menjadi organisatoris, akan ada sebuah tahap pengenalan di mana terdapat doktrinasi yang seakan menjadi semacam dogma yang cukup sakral, yang cukup memompa jantung anda adalah ketika dalam doktrinasi tersebut terdapat semacam janji, sumpah atau ba’iat. Tanggung jawab terhadap sesama anggota, organisasi bahkan tuhan Yang Maha Esa di ucapkan disini. Sampai ditahap ini kita sudah tahu bahwa ketika baru beberapa detik pasca di ‘sumpah’ menjadi organisatoris sudah ada tanggung jawab yang menanti disana. Apa? Anda melanggarnya? Cap pengkhianat dan berbagai sanksi sosial akan menanti anda sebagai konsekuensi.
           Fenomena yang menarik untuk di diskusikan disini adalah ketika seseorang terbentur antara tanggung jawab organisasi dengan tanggung jawab sosial dan tanggung jawab terhadap keluarga. Contoh menarik ketika kader yang cukup berpotensi (atau yang paling ‘pas’ dibanding kader yang lain) diberi tanggung jawab oleh pengurus, anggota dan senior untuk memangku jabatan dalam lingkup organisasi internal, dinamika organisasi ekstra untuk menjadi nomor 1 dalam jabatan intra akan menjadi gengsi, prestisius, dan tentu saja eksistensi atau bahkan memperlancar aliran ‘dana-dana revolusi’ dari pihak kampus terhadap anggota lain dan organisasi koalisi – Tidak makna untuk berkilah, memang dari semua alasan, empat hal tadi yang menjadi faktor fundamental, alasan lain akan menjadi sebuah omong kosong belaka.
           Asumsi yang cukup kontroversional yang di publish dalam jurnal mahasiswa, ya mungkin ini klimaks yang termanifestasi dalam sebuah tulisan. Ingat, tidak ada yang salah disini, itu rahasia umum dan memang orientasi dalam konteks politik.
Peta Dalam Ruang Kampus
           Bila partai berebut mencari tempat eksekutif, organisasi ekstra yang diibaratkan partai akan berkoalisi untuk mendapatkan tempat nomor 1 di Himpunan Jurusan yang diibaratkan Gubernur, BEM / Senat yang diibaratkan eksekutif paling seksi (presiden). Akan terjadi kontrak politik antara organisasi ekstra koalisi disana dalam membentuk kabinet yang diibaratkan menteri di BEM / Senat, pejabat / staf Gubernur dalam ruang Himpunan Jurusan dan Ketua atau anggota DPR dalam konteks BPM. Kampus sendiri diibaratkan menjadi Negara yang ‘penting’ untuk dibenahi.
           Bak konstelasi sungguhan dalam Negara, organisasi ekstra juga terpetakan menjadi dikotomi-dikotomi (parsial), ada yang mempunyai kedekatan emosional yang akan sulit untuk berseberangan atau menjadi oposisi, ada yang memang sudah tidak klop lagi untuk berkoalisi akibat fakta empiris, ada sentimentil terhadap organisasi tertentu yang kemudian menjadi doktrin cukup ekstrim dan jadi isu ‘nasional’ dalam kampus dan bahkan memang ada yang cukup bernuansa politis untuk didekati, hanya pada hajat tertentu mereka berkoalisi, dalam lain hal mereka seperti musuh abadi. Banyak juga yang melanggar kontrak poltik – memang lumrah dalam politik, namun, organisasi ekstra tidak melulu nuansa politis, ada emosional dan social disana – secara organisasi dan pribadi, jangka pendeknya adalah LPJ saat demisioner dan jangka panjangnya adalah isu.
Fenomena yang Lumrah
           Fenomena seperti paragraf empat tadi adalah sedikit gambaran dalam fase anda berorganisasi. Tanggung jawab sebagai organisatoris secara sederhana adalah ketika anda diberi misi untuk membenahi organisasi intra dengan duduk pada jabatan tertinggi – mau tidak mau – anda harus bersedia, awamnya seperti ini, pengurus, anggota atau senior sekalipun tidak akan membuat malu organisasinya ketika mencalonkan kader yang tidak berpotensi sama sekali, ini akan menjadi blunder dan bumerang terhadap nama baik organisasi yang selama ini terbangun dengan memakan waktu. Peningkatan kapasitas akan berproses dan berkontinyuasi ketika mendapatkan tanggung jawab besar menjadi ketua umum di intra. Jadi, berbanggalah kalian yang pernah di tunjuk untuk memangku sebuah jabatan walaupun hanya sekedar isu, terlepas dari terealisasi atau tidak, ini membuktikan bahwa keuletan anda dalam berorganisasi cukup di apresiasi, tidak ada alasan untuk ‘takut’ atau berkecil hati.
           Anggap saja bila potensi, restu, kualifikasi menjadi calon dan organisasi koalisi sudah fix, tinggal menguatkan kembali diri si calon, yang perlu di garis bawahi disini dan sering kali keliru adalah, pada tahap ini yang dibutuhkan si bakal calon adalah motivasi, apresiasi, dukungan dan semangat, bukan pola konserfatif nan primitif seperti ‘menghabisinya’ dalam fit and proper test, hey kawan, itu bukan menempa kader, bukan bimbingan mental. Hal tersebut dilakukan pada saat membangun wataknya, pada saat “mensortir” siapa saja yang harus di dorong untuk maju, pada hal yang selektif, pada beberapa bulan sebelum mengerucutkan calon. Bila si calon lemah, malah akan membuatnya semakin pesimis dan aprioristis, tidak jarang hal ini justru menjadi ‘duri dalam daging’, konflik internal dan kesenjangan sosial antar anggota dengan anggota lain, bahkan dengan para senior, bila dendam positif yang muncul akan lebih baik, namun, bila tidak? Apakah pola-pola menggelikan ini terus di jalankan? PR besar bagi kita semua. Watak dan tempa dibangun pada tahap awal menjadi organisatoris, bukan pada saat dipercaya menjadi calon.
           Hal dilematis lain adalah ketika menyangkut tentang keluarga, disadari atau tidak, menyelesaikan studi lebih cepat dengan nilai yang memuaskan adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarga, itu akan sedikit terbentur ketika tanggung jawab organisasi berbicara bahwa jabatan internal menantimu dengan konsekuensi masa studi agak tertunda. Dilematis, antara keluarga dan organisasi, organisatoris yang baik adalah menyerahkan keputusan tersebut kepada si calon, karena sudah menyangkut keluarga, cukup sensitif.
*Oleh: Don Gusti Rao, Wakil Ketua Umum Senat Mahasiswa FISIP UNAS.
(Buletin IQRA PMII UNAS, Edisi X / Januari- Februari 2011 "Music, Politik & Kritik Sosial". Hal 10.)

Tolong Jawab Aku…!!!

Gema lantunan khidmat yang ku dengar saat fajar menyingsing, membuat takjub aku yang awam.
Hati menjadi tanda tanya, mengapa orang itu bersedia meluangkan waktunya?
Lalu pertanyaan itu semakin menggiring ke pertanyaan yang cukup frontal, mengapa DIA turunkan kepercayaan yang terkotak-kotak? Padahal semua orientasi sama.
Tolong jawab aku…
Awalnya, terjadi kesalahan-kesalahan yang kemudian menjadi sebuah kepercayaan yang paling benar, walaupun semuanya punya alasan sendiri tentang “dapur” pribadinya. Mana ya yang benar?
Tolong jawab aku…
Si “A” punya alasan kuat, “B” pun demikian, “C” apa lagi, dan “D” bahkan rela mati untuk meyakinkan yang lain, walaupun minoritas, “E” cukup konsentrasi kepada ibadahnya..
Yang menarik, muncul kepercayaan lain yang kerangkanya sama, namun, katanya agak menyimpang, katanya sesat…
Tolong jawab aku…
Ingat janji-nya? Janji yang kau baca di buku suci, janji yang kalian ikrarkan setiap menghadapnya, pernah berfikir bahwa janji-janji tersebut sama dengan golongan lain? pernah dengar surga-neraka? Apa jadinya ya ketika kepercayaan tidak terkotak-kotak bahkan tidak saling hantam?
Coba Tanya DIA…
Normatif ketika DIA kita konfirmasi ihwal semua ini,
Sah-sah saja kalau umatnya yang hina dina ini cukup cakap nan vokal, bagaimana menurutmu yang sering berkomunikasi dengan-NYA?
Diam bukan jawaban oh pasrah bukan acuan,
Tolong jawab aku…
Jadi malu melihat yang lain sangat banyak intensitasnya, jadi risih lihat yang lain hanya sekali, jadi aneh melihat yang satu lagi bahkan setahun sekali, tapi bukankah ini dinamika? Kalo kata orang liberal ini akulturasi ke budaya lokal, kata orang plural ini “Bhineka Tunggal Ika”, kata orang demokrat ini demokrasi, kata orang nasionalis inilah Indonesia…
Kata pemuka konserfatif ini perang, kata ortodoks tulen dan fundamentalis “hancurkan! dan kita syahid!”, kata orang moderat ini biasa dan tidak ada yang perlu di komentari.
Jadi konfusi ya, absurd…
Tapi bagaimana kalau pilihan kalian ternyata keliru? Dan kalian baru mengetahuinya ketika hari akhir tiba?
Saat kalian begitu yakin terhadap apa yang kalian anut, namun, kenyataan salah, malah yang kalian anggap apatis justru keluar sebagai pemenang! Paling benar dan pertama terhormat di hadapan tuhan!
Aku apriori kalau ada individu yang pernah berfikir begitu, sufi pun tak, mereka hanya di buat untuk capai pahala, bagaikan malaikat.kalau mereka vokal berfikir seperti itu aku tak mau membayangkannya, jangan-jangan, lebih alot dari sekedar Gestapu dan Genosida NAZI.
Awas! Neraka menantimu!
Sudah begitu alim, sudah cukup relijius, eh ternyata salah…
Wah, kalau anda bayangkan semalam suntuk pasti stres, pasti animis.. pasti takut.. pasti jaga jarak dan pasti akan merobek sajak ini…
Awas! Neraka menantimu!
Lantunan khidmat tadi lalu menjadi hilang perlahan,
Pertanyaan yang menggebu-gebu tadi pun hilang seiring gema merdu yang menjauh.
Menjadi lima kali pertanyaan setiap hari, menjadi ambigu apa yang ku lakukan…
Takut keliru, takut salah, padahal, ketika kau telah yakin untuk di anut, kau harus berani konsekuensi dan kondisi…
Tuhan, untuk apa kau buat dikotomi parsial macam ini?, pengkotak-kotak yang selalu memicu konflik?
Hah? Menguji?
Kau maha tahu kalau kami mahluk paling bimbang,inkonsisten, lemah, bodoh dan mudah di mobilisasi…
Kesempurnaan bentuk fisik dan hawa nafsu justru menjadi bumerang untuk menggapai murka-MU…
Mengapa?
Jadi lumrah ketika banyak korban dari perbedan ini…
Jadi wajar kalau jarak pengkotak-kotakan ini sangat terlihat…
Tolong jawab aku…
Bayangkan bila kamu yang cukup relijius di dunia lalu mendapat balasan berupa api neraka di akhirat!
Apakah yang kita anut ini sudah benar?
Aku yakin pasti kalian tidak tahu ketika pertama kali menganutnya, pasti dari orang tua, di rayu kekasih, bahkan di paksa dengan ancaman bunuh… hanya beberapalah yang manganut dengan mempelajarinya dulu, mengenal lalu mengimplementasikannya.
Apakah yang kita anut ini sudah benar?
Tolong jawab aku…
Terima kasih.

021110, 19.40 WIB @kamarhampa