Saat
ini, dalam lingkup akademis, siapa yang tidak kenal Ki Hajar Dewantara, tokoh
yang awalnya aktif dalam pergerakan politik ini menjadi embrio pemikir dalam
perspektif pendidikan. Di balik hegemoni KHD dalam setiap tulisan tentangnya,
sosok tersebut ditelaah dalam kelas Sekolah Pemikir Pendiri Bangsa yang di
bawakan Giat Wahyudi dari Yayasan Bung Karno. Seperti biasa, muncul
diskursus-dialektika tentang sepak terjangnya, baik dalam dunia politik maupun
pendidikan.
Bagi saya, sosok “revolusioner” KHD
dalam dunia pendidikan serta sepak terjangnya sebagai aktifis politik dan
wartawan mempunyai tiga poin yang menarik untuk di elaborasi secara
konferhensif:
·
Pergeseran KHD dari dunia politik ke
dunia pendidikan
·
Kategorisasi KHD sebagai sosok
“revolusioner” dalam lingkup pendidikan
·
Strategi KHD dalam mengajar, dalam
lingkup pendidikan
·
Peran serta dalam pra kemedekaan:
Nasionalisme atau Etnonasionalisme-Jawaisme?
Pergeseran paradigma
Selain
ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik.[1]
Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi
propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
(terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi
olehnya.
KHD muda juga
menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang
didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan
sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian
DD mendirikan Indische Partij, KHD diajaknya pula.
Ini adalah
fenomena menarik, dimana KHD yang dikenal sebagai aktifis politik kemudian – pasca
“di buang” ke Belanda – bergeser paradigma ke dunia pendidikan. Walaupun
akhirnya namanya cukup mentereng di dunia pendidikan, namun menjadi sangsi
ketika hal itu terjadi pasca pengasingan dalam sepak terjangnya sebagai aktifis
politik. Perspektif liar pun mengemuka menjadi seperti sebuah desain bahwa
imperial Belanda memobilisasi individu kritis seperti KHD untuk meninggalkan
dunia politik, terlepas dari kemudian hegemonial KHD dalam dunia pendidikan.
Kategorisasi
KHD
Dunia
pendidikan konserfatif yang dikomandoi oleh sistem “santri” yang cukup popular
di daerah-daerah, dianggap menjadi sistem yang mumpuni untuk Indonesia pada
saat itu, apalagi sebagian besar non-priyayi yang tidak bisa masuk sekolah elit
seperti STOVIA/HBS.
KHD
muncul dalam labirin sistem santri yang dianggap melulu tentang agama yang
kental dengan ortodoksinya. Sistem pendidikan yang dia ubah menjadi sistem
pendidikan umum – yang dia dapat dalam pembuangan di Belanda – non kelas tanpa
meninggalkan esensi keagamaan.
Menarik, teringat
dengan KH. Wahid Hasyim, santri tulen ayahanda KH Abdurrahman Wahid, seorang
moderat muslim dalam dunia pendidikan yang di anggap revolusioner tatkala
memberikan sumbangsih pikiran tentang perlunya ilmu pendidikan umum di dunia
pesantren. KH. Wahid Hasyim pun menjadi orang yang berperan dalam me-moderasi
paradigmais santri pesantren, ini dibuktikan ketika dia yang notabene putra Hadratus Syeikh Hasyim Asyari berani
dengan lantang memakai celana panjang di dalam lingkup pesantren, cukup berani
dan revolusioner masa itu.
Pertanyaanya,
setelah tanggal kelahirannya di jadikan hari pendidikan nasional (yang masih menjadi
kontroversi hingga saat ini), dan semboyannya dijadikan slogan Kementerian
Pendidikan Nasiuonal Indonesia. Apakah dia layak di kategorisasi menjadi
seorang Revolusioner pendidikan layaknya KH. Wahid Hasyim?
Strategi
dalam mengajar
Giat
Wahydi, dalam persentasinya di kelas ke enam Sekolah Pemikir Megawati
Institute, menerangkan salah satu fenomena yang menarik dari tata ajar KHD
adalah ketika beliau mengajar, dan ada salah satu murid yang bermain kelereng,
beliau tidak memarahinya, namun terus melangsungkan kegiatan.
Dalam proses
belajar ajar di ruang kelas KHD juga melarang setiap guru atau pamong menghukum
dan memarahi siawa-siswinya, walau dalam keadaan bagaimanapun. Tampak
dalam proses ini KHD memberikan
kebebasan luar biasa bagi sebuah proses pendidikan.
Paradigma
pendidikan yang universal dan progresif jarang dipahami, seperti postulatnya yang
terkenal dalam menghadapi dominasi sistem pendidikan kolonial, dalam praksis: setiap orang adalah guru dan setiap tempat
adalah sekolahan, jelas menggambarkan pola pendidikan yang radikal dan
telah menempatkan alam terkembang sebagaiuniversitas kehidupan.[2]
Kritik
menarik, apakah sistem pengajaran tersebut ampuh? Memang belum ada sebuah
pembuktian komperhensif tentang ini, namun, pemikiran tersebut menjadi model
kritik tajam bagi sistem masa kini. Lalu, apakah dengan membiarkan siswa
bermain kelereng pada kegiatan belajar mengajar tidak merupakan manifest dari
kemanjaan tanpa sedikitpun bernuansa akademis? Apakah juga KHD membiarkannya
karena keterbatasan penglihatannya yang agak bermasalah?
Nasionalisme
atau Jawaisme?
Ada
sebuah anekdot kritis yang berkembang tentang pahlawan-pahlawan kemerdekaan
Republik Indonesia, nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Pattimura dan
lainnya adalah pahlawan etnonasionalis kedaerahan, mereka “memberontak” ketika
daerahnya di usik, jadi bukan karena integritas nasionalisme Indonesia di bawah
praktek kolonialisme.
Pun dengan KHD,
yang dianggap membuat sebuah terobosan kritis dalam lingkup pendidikan hanya
untuk etnis Jawa, bukan untuk warga Indonesia secara keseluruhan.
Memang peradaban
Jawa yang dianggap lebih modern menjadikannya melahirkan berbagai cendikia yang
melahirkan paradigma konsep ketata negaraan yang lebih maju, menjadikan klaim distorsif
Jawaisme yang kental.
*Oleh: Don Gusti Rao, Peserta pada kelas Sekolah
Pemikir Pendiri BangsaMegawati Institute
[2]
“Mengenang Si Drop Out,
Dewantara (Setiap Orang Guru dan Setiap Tempat Sekolahan) dalam Harian Rakyat Merdeka, Minggu Pahing, 6 Mei
2001/12 Shafar 1422, Hal 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar