...

BLOG INI PINDAH KE: doni-rao.blogspot.com

Senin, 26 September 2011

Ki Hajar Dewantara, Sebuah Refleksi*


           Saat ini, dalam lingkup akademis, siapa yang tidak kenal Ki Hajar Dewantara, tokoh yang awalnya aktif dalam pergerakan politik ini menjadi embrio pemikir dalam perspektif pendidikan. Di balik hegemoni KHD dalam setiap tulisan tentangnya, sosok tersebut ditelaah dalam kelas Sekolah Pemikir Pendiri Bangsa yang di bawakan Giat Wahyudi dari Yayasan Bung Karno. Seperti biasa, muncul diskursus-dialektika tentang sepak terjangnya, baik dalam dunia politik maupun pendidikan.
            Bagi saya, sosok “revolusioner” KHD dalam dunia pendidikan serta sepak terjangnya sebagai aktifis politik dan wartawan mempunyai tiga poin yang menarik untuk di elaborasi secara konferhensif:
·         Pergeseran KHD dari dunia politik ke dunia pendidikan
·         Kategorisasi KHD sebagai sosok “revolusioner” dalam lingkup pendidikan
·         Strategi KHD dalam mengajar, dalam lingkup pendidikan
·         Peran serta dalam pra kemedekaan: Nasionalisme atau Etnonasionalisme-Jawaisme?
Pergeseran paradigma
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.[1] Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
KHD muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, KHD diajaknya pula.
Ini adalah fenomena menarik, dimana KHD yang dikenal sebagai aktifis politik kemudian – pasca “di buang” ke Belanda – bergeser paradigma ke dunia pendidikan. Walaupun akhirnya namanya cukup mentereng di dunia pendidikan, namun menjadi sangsi ketika hal itu terjadi pasca pengasingan dalam sepak terjangnya sebagai aktifis politik. Perspektif liar pun mengemuka menjadi seperti sebuah desain bahwa imperial Belanda memobilisasi individu kritis seperti KHD untuk meninggalkan dunia politik, terlepas dari kemudian hegemonial KHD dalam dunia pendidikan.
Kategorisasi KHD
            Dunia pendidikan konserfatif yang dikomandoi oleh sistem “santri” yang cukup popular di daerah-daerah, dianggap menjadi sistem yang mumpuni untuk Indonesia pada saat itu, apalagi sebagian besar non-priyayi yang tidak bisa masuk sekolah elit seperti STOVIA/HBS.
            KHD muncul dalam labirin sistem santri yang dianggap melulu tentang agama yang kental dengan ortodoksinya. Sistem pendidikan yang dia ubah menjadi sistem pendidikan umum – yang dia dapat dalam pembuangan di Belanda – non kelas tanpa meninggalkan esensi keagamaan.          
Menarik, teringat dengan KH. Wahid Hasyim, santri tulen ayahanda KH Abdurrahman Wahid, seorang moderat muslim dalam dunia pendidikan yang di anggap revolusioner tatkala memberikan sumbangsih pikiran tentang perlunya ilmu pendidikan umum di dunia pesantren. KH. Wahid Hasyim pun menjadi orang yang berperan dalam me-moderasi paradigmais santri pesantren, ini dibuktikan ketika dia yang notabene putra Hadratus Syeikh Hasyim Asyari berani dengan lantang memakai celana panjang di dalam lingkup pesantren, cukup berani dan revolusioner masa itu.
Pertanyaanya, setelah tanggal kelahirannya di jadikan hari pendidikan nasional (yang masih menjadi kontroversi hingga saat ini), dan semboyannya dijadikan slogan Kementerian Pendidikan Nasiuonal Indonesia. Apakah dia layak di kategorisasi menjadi seorang Revolusioner pendidikan layaknya KH. Wahid Hasyim?
Strategi dalam mengajar
        Giat Wahydi, dalam persentasinya di kelas ke enam Sekolah Pemikir Megawati Institute, menerangkan salah satu fenomena yang menarik dari tata ajar KHD adalah ketika beliau mengajar, dan ada salah satu murid yang bermain kelereng, beliau tidak memarahinya, namun terus melangsungkan kegiatan.
Dalam proses belajar ajar di ruang kelas KHD juga melarang setiap guru atau pamong menghukum dan memarahi siawa-siswinya, walau dalam keadaan bagaimanapun. Tampak dalam  proses ini KHD memberikan kebebasan luar biasa bagi sebuah proses pendidikan.
Paradigma pendidikan yang universal dan progresif jarang dipahami, seperti postulatnya yang terkenal dalam menghadapi dominasi sistem pendidikan kolonial, dalam praksis: setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolahan, jelas menggambarkan pola pendidikan yang radikal dan telah menempatkan alam terkembang sebagaiuniversitas kehidupan.[2]
           Kritik menarik, apakah sistem pengajaran tersebut ampuh? Memang belum ada sebuah pembuktian komperhensif tentang ini, namun, pemikiran tersebut menjadi model kritik tajam bagi sistem masa kini. Lalu, apakah dengan membiarkan siswa bermain kelereng pada kegiatan belajar mengajar tidak merupakan manifest dari kemanjaan tanpa sedikitpun bernuansa akademis? Apakah juga KHD membiarkannya karena keterbatasan penglihatannya yang agak bermasalah?
Nasionalisme atau Jawaisme?
            Ada sebuah anekdot kritis yang berkembang tentang pahlawan-pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia, nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Pattimura dan lainnya adalah pahlawan etnonasionalis kedaerahan, mereka “memberontak” ketika daerahnya di usik, jadi bukan karena integritas nasionalisme Indonesia di bawah praktek kolonialisme.
Pun dengan KHD, yang dianggap membuat sebuah terobosan kritis dalam lingkup pendidikan hanya untuk etnis Jawa, bukan untuk warga Indonesia secara keseluruhan.
Memang peradaban Jawa yang dianggap lebih modern menjadikannya melahirkan berbagai cendikia yang melahirkan paradigma konsep ketata negaraan yang lebih maju, menjadikan klaim distorsif Jawaisme yang kental.

*Oleh: Don Gusti Rao, Peserta pada kelas Sekolah Pemikir Pendiri BangsaMegawati Institute


[2] “Mengenang Si Drop Out, Dewantara (Setiap Orang Guru dan Setiap Tempat Sekolahan) dalam Harian Rakyat Merdeka, Minggu Pahing, 6 Mei 2001/12 Shafar 1422, Hal 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar