Dari semua literatur
tentangnya, sudah beragam telaah mengenai pemikiran sosialisnya. Pun dengan
buku Islam dan Sosialisme, sosialisme di terangkan sebagai kerangka islam
kontekstual. Esensi dari seluruh ideologi dunia adalah apa yang di namakan
dengan sosialisme, yang merupakan faktor fundamental.
Haji
Oemar Said Tjokroaminoto lahir pada 1882, dari keluarga priyayi di
Ponorogo. Pada awalnya, ia juga mengikuti jejak kepriyayian ayahnya,
sebagai pejabat pangreh praja. Ia masuk pangreh praja pada tahun 1900 setelah
menamatkan studi di OSVIA, Magelang. Pada tahun 1907, ia keluar dari
kedudukannya sebagai pangreh pradja karena ia muak dengan praktek
sembah-jongkok yang dianggapnya sangat berbau feodal. Ia kemudian hijrah ke
Surabaya, ikut sekolah malam tehnisi dan kemudian bekerja menjadi tehnisi di
pabrik gula Rogojampi. Setelah SI berdiri, ia keluar dari pekerjaan dan menjadi
pemimpin pergerakan di Surabaya. Dari pergerakan inilah –lewat memimpin SI dan
Perusahaan Setia Oesaha- ia mampu mencukupi kehidupannya.Sebagai pemimpin SI,
ia dipuja bak ksatria menang setelah perang. Ia dianggap orang yang berbakat dan
mampu memikat massa. Bahkan ia juga merupakan guru yang baik, dan mampu
melahirkan tokoh-tokoh pergerakan hingga awal kemerdekaan. Diantara murid-murid
Tjokro yang terkenal adalah Sukarno, Kartosuwiryo dan juga Musso-Alimin.
Sukarno, sebagaimana dikenal luas, adalah murid dan penghuni pondokan Tjokro,
serta juga menantu Tjokro. Sukarno menyerap kecerdasan Tjokro, terutama dari
gaya berpidato. Pada masa kemerdekaan, Sukarno dikenal sebagai tokoh
nasionalis, proklamator dan presiden R.I. Kartosuwiryo, juga pernah beberapa
tahun tinggal bersama Tjokro. Setelah kemerdekaan, Kartosuwiro mendirikan Darul
Islam sebagai perlawanan terhadap Sukarno. Musso-Alimin, dua tokoh Partai
Komunis Indonesia (PKI), juga merupakan murid Tjokro. Keduanya, Pada tahun 1948
di Madiun, juga bertarung dengan Sukarno. Jadi pertarungan Nasionalisme
Sukarno- Islam Kartosuwiryo-Komunis Musso/Alimin, adalah pertarungan antara
murid-murid Tjokro. Hal ini mengisyaratkan bahwa Tjokro ditafsirkan berbeda
oleh para muridnya. Dalam beberapa hal, ide Tjokro lebih dimengerti Sukarno
yang mengolahnya menjadi Nasakom, sebagai lambang persatuan nasional.
Disaat masuk dalam wilayah pergerakan nasional, Tjokro
pada awalnya mulai dikenal sebagai pemimpin lokal Sarekat Islam (SI) di
Surabaya. Dalam aktivitas-aktivitas SI, Tjokroaminoto yang kemudian menduduki
posisi sentral di tingkat pusat, menjadi demikian berpengaruh bukan hanya
karena ia adalah redaktur Suara Hindia, tetapi juga karena tidak adanya
orator saingan dalam vargadering-vargadering SI yang sanggup
mengalahkan “suara baritonnya yang berat dan dapat didengar ribuan orang tanpa
mikrofon”. Dibawah kepemimpinannya,
Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar dan bahkan mendapat pengakuan dari
pemerintahan kolonial. Hal ini tidak lain, adalah sebagai hasil pendekatan
kooperatif yang dijalankan Tjokroaminoto. Ketika terjadi polemik
keanggotaan ganda dalam tubuh Sarekat Islam, Tjokro adalah tokoh yang
menginginkan persatuan SI dapat dipertahankan. Ia lebih mengidentifikasikan
dirinya sebagai perekat antar pihak yang bertikai, walau dalam beberapa hal ia
lebih dekat kepada kelompok SI- Putih. Menjelang perpecahan SI, personalitas
Tjokro mulai banyak dipertanyakan. Pada 6, 7 dan 9 Oktober 1920, Dharsono
membuat artikel panjang mengkritik Tjokro yang dianggap menyengsarakan SI
dengan pengeluaran kepentingan pribadinya yang berjumlah besar (3000 gulden).
Dharsono menuduh secara tidak langsung dengan mengatakan bahwa Tjokro terlibat
penggelapan, “mengapa CSI tidak punya uang…sedangkan Tjokro kelimpahan”,
demikian tulis Dharsono.
Islam-Sosialis,
sebuah dikotomi
Selanjutnya,
tepat ketika ia berumur 40 tahun, Tjokro mulai beralih kepada Islam dalam arti
yang lebih serius. Pada September 1922, ia mulai menerbitkan artikel berseri
“Islam dan Sosialisme” di Soeara Boemiputera dan mencoba mendasarkan pandangan
sosialismenya pada Islam. Pada Kongres Al-Islam di Cirebon, 31 Oktober-2
November 1922, ia juga diangkat sebagai ketua kongres. Arti penting kongres
ini, seperti dikatakan Agus Salim, yaitu untuk “mendorong persatuan segala
golongan orang Islam di Hindia atau Orang Islam di seluruh dunia dan
Bantu-membantu” dan melihat Kemal Attaturk sebagai pemimpin teladan yang
bekerja demi persatuan Islam (baca, Pan Islamisme).
Sebagai
tokoh SI, ia kemudian melakukan tur propaganda ke pertemuan SI-SI local. Dalam
pidatonya ia sudah melakukan pendikotomian antara Islam dan komunis. Baginya SI
adalah berdasarkan Islam, dan karena kaum komunis itu Atheis (tidak bertuhan)
maka komunisme tidak sesuai dengan SI. Sesudah kongres CSI di Madiun,
17-23 Februari 1923, Tjokro semakin mengecam kaum komunis. Bahkan ia juga akan
membentuk SI dan PSI tandingan, ditempat-tempat dimana kaum komunis melakukan
kontrol terhadap SI. Dengan demikian, dimulailah suatu upaya disiplin partai, untuk
membersihkan SI dari unsur komunis. Akibatnya kelompok SI pro-komunis,
mengadakan kongres tandingan di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923. Dalam
forum itu, Tjokro dikecam oleh HM Misbach, bahkan Tjokro dianggapnya sebagai
racun karena dianggap melakukan pembohongan dengan dikotomi Islam-komunis.
Misbach menuding bahwa Tjokro hendak menjadi raja dan juga mengungkit kembali
skandal Tjokro yang pernah diungkap Dharsono. Secara substansial, Misbach juga
menolak dikotomi Tjokro, baginya Islam dan komunis adalah sama, karena
memperjuangkan sama rata-sama rasa. Kecaman Misbach terhadap Tjokro, mendapat
kecaman balik dari Sukarno, sehingga pada akhirnya Misbach-pun meminta maaf
atas pidatonya yang menyinggung.
Pada
perkembangan pemikiran Tjokro selanjutnya, tidak banyak berubah. Saat ia
berpidato mengenai Islam, hal ini banyak ditujukan bagi symbol persatuan
nasional. Tjokro misalnya berpendapat bahwa solidaritas bumi putra
dibangun atas nama Islam. Dan orang-orang diberitahu bahwa semua anggota SI bersaudara,
terlepas dari umur, pangkat dan status.
Setelah
menemukan Islam, maka Tjokro memberi geist baru bagi Islam yaitu dengan
sosialisme, yang coba digali dari dalam Al-Qur’an. Tampaknya, Tjokro sadar akan
bahaya sosialisme yang dengan “keseksiannya” banyak menarik pengikut dari
aktivis pergerakan. Jika Islam dimaknai secara pasif, bukan suatu unsur yang
“seksi”, menarik dan berjuang bagi perubahan, maka langkah Islam tidak akan
beranjak dari fungsi praktik ritual belaka. Bagi Tjokro, Islam adalah sesuatu yang
harus diperjuangkan dan di persatukan, sebagai dasar kebangsaan yang dibangun
dalam proses menuju Indonesia.
*Oleh Don Gusti Rao, Refleksi pada kelas
ke
lima sekolah pemikir Megawati Institue.
Referensi: Humaidi, “H.O.S
Tjokroaminoto:
Potret
Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia”, FIB UI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar