...

BLOG INI PINDAH KE: doni-rao.blogspot.com

Senin, 26 September 2011

Ragam Telaah Konsepsi Agama-Bangsa*


“Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer (pengorbanan) ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan, supaya Indonesia merdeka lekas damai”.

               Meminjam K.H Firdaus A.N.[1], “rayuan Soekarno” yang fasih tersebut berhasil mengelabui kubu Islam dalam pengurangan tujuh kata sakral piagam Jakarta, yang kemudian bersama kubu nasionalis lain seperti Bung Hatta meyakinkan KI Bagus Hadikusumo yang dianggap mewakili tokoh-tokoh Islam lain pada pagi hari sebelum sidang PPKI.
           Meski tdak bisa dikatakan sebagai awal konflik antara “kubu” Nasionalis – Islam, namun ini di yakini cukup menjadi embrio yang kemudian sebagai parameter polemik klasik keduanya.
            Kubu nasionalis-sekular, dengan prularitasnya memang menginginkan negara inklusif yang bersahaja, walaupun di peruntukkan bagi pemeluknya, syariat Islam dalam piagam Jakarta dinilai akan menjadi sebuah sentimental agama dan gurita disintegrasi dalam negara yang masih hijau. Mereka peka bahwa ini bisa di jadikan sebagai senjata ampuh untuk kemudian menggalang kekuatan menjadi sebuah negara teokrasi eksklusif. Beberapa cendikia muslim yang dianggap radikal terbukti mengimplementasikannya lewat beberapa kup tatkala Indonesia masih merasakan hegemoni kemerdekaan awal. Padahal, awam pun mahfum, negara teokrasi dengan ke-khalifah-annya adalah utopia besar di tengah pemikiran-pemikiran kecil bila di terapkan di Indonesia. Sebuah hal yang mubazir, tatkala memaksakkan khalifah di negara bhineka yang notabene terdiri dari berbagai umat, mengapa tidak serta merta membuat paradigma kritis tentang konsepsi negara Rasul? Negara dengan tingkat relijiusitas tinggi yang mengakomodir berbagai umat. Indonesia pun dulu di yakini adalah ejawantah dari negara Rasul, yang menjadi wadah lintas umat.
                Kembali ke piagam Jakarta, yang menarik, disela pertentangan kubu yang dianggap radikal dan tidak bisa menerima pencoretan tujuh kata tersebut dengan kaum nasionalis-sekuler, terselip kisah SARA yang dinamis, kisah (konon) tendensi sepihak akibat sentimentil ke - agamaan. Adalah Dr. Sam Ratulangi, politisi Kristiani Manado yang dikatakan mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan normatif tersebut.[2] Sebelumnya, politisi kristiani lain, A.A. Maramis, turut dengan tulus menandatangani piagam bersejarah bersama sembilan orang perwakilan agama dan golongan lain. Diyakini, hal tersebut – peran Sam Ratulangi – masih simpang siur, mungkin karena cukup sensitif dan riskan. Selain itu, validitasnya tidak kuat karena satu-satunya buku yang mengulas kejadian tersebut adalah terbitan Cornell University,[3] Amerika Serikat, terkesan provokatif.
Disintegrasi laten
                Prof. Dr. Hamka Haq, penulis buku Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam ketika berkunjung ke Makassar dan berkomunikasi dalam sebuah forum dengan pemeluk Hindu,[4] mendapatkan sebuah argumen yang menarik, si pemeluk Hindu itu berkata, “kami tidak berkeberatan dengan syariat Islam yang di peruntukkan bagi pemeluknya, tapi jangan terkejut, ketika nanti begitu banyak muslim yang berbondong pindah keagama kami”. Ya, dengan begitu, mudah bagi kaum muslim untuk menjadi sebuah klaim pada saat persidangan kejahatannya, bahwa pada saat itu juga berpindah agama, agar terhindar dari syariat islam yang di peruntukkan bagi pemeluknya. Ini menggelikan, niscaya agama dijadikan sebagai wahana bermain dalam konsepsi kejahatan, dalam taktik kriminalitas. Membebaskan mereka memainkan agama tanpa sebuah manifestasi yang solutif adalah fikiran kerdil.
                Faktor fundamental pemikiran Piagam Jakarta mungkin tidak terlalu kritis mengarah kesana, menganggap hal itu wajar adanya. Padahal adalah sebuah kekeliruan besar disaat negara madya sibuk mengurusi jatidiri dalam ruang relijiusitas di campuri oleh praktek-praktek konyol.
“Terpelihara” dengan baik         
                Konflik tersebut pun bermetamorfosa hingga kini, bak bola salju yang semakin besar, polemik meluas dan semakin mengena pembahasannya terkait sebuah ideologi yang disakralkan pada Orde Baru: Pancasila. Meminjam Gus Dur, bahwa pancasila adalah manifestasi-implisit dari berbagai ideologi besar dunia yang hegemonial di Indonesia, Agamais yang memang condong ke Islam lewat frasa “Ketuhanan yang Maha Esa”-nya diwakili oleh sila pertama,. Sosialisme yang merupakan fundamental dari seluruh ideologi dunia ada pada sila ke dua, sila ketiga manifestasi dari Nasionalisme, sila ke-empat mewakili prinsip-prinsip demokrasi, dan komunisme lewat egalitariannya termaktub pada keadilan sosial pada sila pamungkas.
                Pancasila yang secara substantif dilahirkan pada masa Majapahit, akibat salah persepsi, memang terkesan menjadi tameng bagi kaum Nasionalis. Sakralisasi Pancasila – yang memang tidak perlu – menjadikan kaum Islamis konservatif merasa jijik dan wajib melakukan koreksi mendalam pada sebuah fenomena yang parsial. Semua kemelut keagamaan-kebangsaan pada saat dan pasca Orde Baru di nakhodai oleh isu seksi Pancasila dan asas tunggalnya menjadi hal yang sensitif.
           Lahir pula berbagai organisasi yang secara ideologi bersikap korektif terhadap pancasila, konsekuensi demokratisasi pasca berakhirnya rezim otoritarian. Kelompok-kelompok radikal yang memang alergi terhadap Pancasila terus bergerak secara under ground, bermain bersih secara persuasif, doktrinasi yang dilakukan secara komperhensif tidak jarang menjadikan regenerasi-kaderisasi yang optimal, yang menghasilkan kader-kader akademis. Sasaran jelas, pada akar rumput yang masih hijau, karakteristik yang dibentuk sejak dini untuk kemudian mendikte asas tunggal.
                Kekeliruan yang masih terpelihara dalam track Pancasila adalah produk-produk Orde Baru, seperti asas tunggal misalnya, asas yang lahir dari sebuah ketakutan rezim dinilai sudah kadaluarsa bila diterapkan saat ini. Kata kuncinya hanya satu: setiap asas yang secara ideologi maupun implementasi tidak kontraproduktif dengan nilai-nilai Pancasia. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI,[5] sedikit mengkoreksi, menurutnya perlu dipertimbangkan kembali penerapan asas tunggal Pancasila pada organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Pada masa Orde Baru, hal itu dipaksakan dengan tekanan. Apakah sekarang dapat dilakukan dengan sukarela? Bila Undang-Undang mengenai politik, kepartaian, dan organisasi kemasyarakatan membolehkan adanya ideologi lain di luar Pancasila (Asal tidak kontraproduktif), bukankah itu memberi peluang munculnya kembali perdebatan lama yang sesungguhnya tidak produktif? Memang diakui, selain dari keran kebebasan pers, di buka seluasnya kebebasan berdemokrasi.
          Yang memang perlu sedikit di wanti adalah banyaknya ormas islam yang tidak kaku mempertontonkan keradikalannya, padahal sudah jelas secara nilai jauh dari Pancasila. Inilah yang sukar terealisasi, mau di teropong dari sudut pandang manapun, tidak ada kontraproduktif anatara Islam dan Pancasila, meminjam pak Tjokro, pengarang buku Islam dan Sosialisme yang mahsyur itu, kerangka fundamental islam adalah sosialisme. Secara esensi pasti mempunyai prinsip adil dan sama rata-sama rasa, egaliter. Pun dengan Pancasila yang gandrung akan nilai sosialisme. HTI, yang menurut Ulil Abshar Abdalla adalah ancaman serius bagi NKRI dibanding NII.[6] Ormas yang dikenal gemar long march ini memang secara terang-terangan menegaskan ingin mendirikan Khilafah Islamiah di negara majemuk ini. Bagaimana dengan Front Pembela Islam yang memang cukup tegas membela prinsip islam? Habib Muksin dalam sebuah diskusi di Megawati Institue menjelaskan bahwa FPI dari dulu tidak menolak Pancasila, ia mengatakan FPI hanya menolak dengan tegas oknum-oknum yang mensakralkannya.
               Asas tunggal memang sebuah kekeliruan yang wajib di koreksi, namun dengan munculnya ormas yang bisa menjadi sebuah ultimatum kontekstual, koreksi tersebut tidak mudah, butuh waktu dan konsesus bersama.
               Bangsa adalah sebuah spektrum besar yang di dalamnya terdapat manusia yang mempunyai hak hidup dan hak berideologi, analogi sebuah laut, tidak hanya Hiu saja yang dengan keperkasaan dan keangkuhannya hidup di dalam dengan sewenangnya, ikan-ikan kecil yang sudah ditakdirkan menjadi mangsa pun berhak untuk mencicipi asinnya air laut, terserah bagaimana Hiu itu dapat menjaga ritme kapan dan dimana untuk menyantap ikan-ikan kecil tersebut, butuh jarak dan dimensi waktu yang sinambung untuk menikmatinya, agar tersedia esok hari bagi keluarga dan spesiesnya. 
           Tulisan ini tidak menjadi sebuah elaborasi mendalam terkait historia agama dan nasionalisme (bangsa) dari masa ke masa, namun menjadi tinjauan praktis sebagai sebuah refleksi. Tak dinyana, pertarungan ideologi bak teka-teki “telur atau ayam” pada masa kecil dulu, sukar di tebak. Meminjam cendikia lokal bahwa ideologi tidak akan pernah habis, ia akan terus berproses dan berkontinyuasi, datang dalam segala bentuk, berbagai wajah dan wacana.

*Oleh: Don Gusti Rao 
Sabtu130811.15:31 @ Ruang Tengah


[1] Dalam “Dosa-dosa Politik Orde Lama dan Orde Baru yang Tidak Boleh Berulang Lagi di Era Reformasi” Hal.64
2 Ibid. hal 67
3 Ibid
4 Dalam diskusi dan bedah buku, “Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam” karya Prof. Dr. Hamka Haq, M.A. di Megawati Institute, 10 Agustus 2011
[5] “Berpancasila Jangan Tanggung” Koran Tempo, edisi 31 Mei 2011, hal A 10
[6] Diskusi “Gerakan Tangkal NII”, Kamis 26 Mei 2011 di PB PMII

Ki Hajar Dewantara, Sebuah Refleksi*


           Saat ini, dalam lingkup akademis, siapa yang tidak kenal Ki Hajar Dewantara, tokoh yang awalnya aktif dalam pergerakan politik ini menjadi embrio pemikir dalam perspektif pendidikan. Di balik hegemoni KHD dalam setiap tulisan tentangnya, sosok tersebut ditelaah dalam kelas Sekolah Pemikir Pendiri Bangsa yang di bawakan Giat Wahyudi dari Yayasan Bung Karno. Seperti biasa, muncul diskursus-dialektika tentang sepak terjangnya, baik dalam dunia politik maupun pendidikan.
            Bagi saya, sosok “revolusioner” KHD dalam dunia pendidikan serta sepak terjangnya sebagai aktifis politik dan wartawan mempunyai tiga poin yang menarik untuk di elaborasi secara konferhensif:
·         Pergeseran KHD dari dunia politik ke dunia pendidikan
·         Kategorisasi KHD sebagai sosok “revolusioner” dalam lingkup pendidikan
·         Strategi KHD dalam mengajar, dalam lingkup pendidikan
·         Peran serta dalam pra kemedekaan: Nasionalisme atau Etnonasionalisme-Jawaisme?
Pergeseran paradigma
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.[1] Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
KHD muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, KHD diajaknya pula.
Ini adalah fenomena menarik, dimana KHD yang dikenal sebagai aktifis politik kemudian – pasca “di buang” ke Belanda – bergeser paradigma ke dunia pendidikan. Walaupun akhirnya namanya cukup mentereng di dunia pendidikan, namun menjadi sangsi ketika hal itu terjadi pasca pengasingan dalam sepak terjangnya sebagai aktifis politik. Perspektif liar pun mengemuka menjadi seperti sebuah desain bahwa imperial Belanda memobilisasi individu kritis seperti KHD untuk meninggalkan dunia politik, terlepas dari kemudian hegemonial KHD dalam dunia pendidikan.
Kategorisasi KHD
            Dunia pendidikan konserfatif yang dikomandoi oleh sistem “santri” yang cukup popular di daerah-daerah, dianggap menjadi sistem yang mumpuni untuk Indonesia pada saat itu, apalagi sebagian besar non-priyayi yang tidak bisa masuk sekolah elit seperti STOVIA/HBS.
            KHD muncul dalam labirin sistem santri yang dianggap melulu tentang agama yang kental dengan ortodoksinya. Sistem pendidikan yang dia ubah menjadi sistem pendidikan umum – yang dia dapat dalam pembuangan di Belanda – non kelas tanpa meninggalkan esensi keagamaan.          
Menarik, teringat dengan KH. Wahid Hasyim, santri tulen ayahanda KH Abdurrahman Wahid, seorang moderat muslim dalam dunia pendidikan yang di anggap revolusioner tatkala memberikan sumbangsih pikiran tentang perlunya ilmu pendidikan umum di dunia pesantren. KH. Wahid Hasyim pun menjadi orang yang berperan dalam me-moderasi paradigmais santri pesantren, ini dibuktikan ketika dia yang notabene putra Hadratus Syeikh Hasyim Asyari berani dengan lantang memakai celana panjang di dalam lingkup pesantren, cukup berani dan revolusioner masa itu.
Pertanyaanya, setelah tanggal kelahirannya di jadikan hari pendidikan nasional (yang masih menjadi kontroversi hingga saat ini), dan semboyannya dijadikan slogan Kementerian Pendidikan Nasiuonal Indonesia. Apakah dia layak di kategorisasi menjadi seorang Revolusioner pendidikan layaknya KH. Wahid Hasyim?
Strategi dalam mengajar
        Giat Wahydi, dalam persentasinya di kelas ke enam Sekolah Pemikir Megawati Institute, menerangkan salah satu fenomena yang menarik dari tata ajar KHD adalah ketika beliau mengajar, dan ada salah satu murid yang bermain kelereng, beliau tidak memarahinya, namun terus melangsungkan kegiatan.
Dalam proses belajar ajar di ruang kelas KHD juga melarang setiap guru atau pamong menghukum dan memarahi siawa-siswinya, walau dalam keadaan bagaimanapun. Tampak dalam  proses ini KHD memberikan kebebasan luar biasa bagi sebuah proses pendidikan.
Paradigma pendidikan yang universal dan progresif jarang dipahami, seperti postulatnya yang terkenal dalam menghadapi dominasi sistem pendidikan kolonial, dalam praksis: setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolahan, jelas menggambarkan pola pendidikan yang radikal dan telah menempatkan alam terkembang sebagaiuniversitas kehidupan.[2]
           Kritik menarik, apakah sistem pengajaran tersebut ampuh? Memang belum ada sebuah pembuktian komperhensif tentang ini, namun, pemikiran tersebut menjadi model kritik tajam bagi sistem masa kini. Lalu, apakah dengan membiarkan siswa bermain kelereng pada kegiatan belajar mengajar tidak merupakan manifest dari kemanjaan tanpa sedikitpun bernuansa akademis? Apakah juga KHD membiarkannya karena keterbatasan penglihatannya yang agak bermasalah?
Nasionalisme atau Jawaisme?
            Ada sebuah anekdot kritis yang berkembang tentang pahlawan-pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia, nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Pattimura dan lainnya adalah pahlawan etnonasionalis kedaerahan, mereka “memberontak” ketika daerahnya di usik, jadi bukan karena integritas nasionalisme Indonesia di bawah praktek kolonialisme.
Pun dengan KHD, yang dianggap membuat sebuah terobosan kritis dalam lingkup pendidikan hanya untuk etnis Jawa, bukan untuk warga Indonesia secara keseluruhan.
Memang peradaban Jawa yang dianggap lebih modern menjadikannya melahirkan berbagai cendikia yang melahirkan paradigma konsep ketata negaraan yang lebih maju, menjadikan klaim distorsif Jawaisme yang kental.

*Oleh: Don Gusti Rao, Peserta pada kelas Sekolah Pemikir Pendiri BangsaMegawati Institute


[2] “Mengenang Si Drop Out, Dewantara (Setiap Orang Guru dan Setiap Tempat Sekolahan) dalam Harian Rakyat Merdeka, Minggu Pahing, 6 Mei 2001/12 Shafar 1422, Hal 3

Sosialis-Islamis Tjokro*


          Dari semua literatur tentangnya, sudah beragam telaah mengenai pemikiran sosialisnya. Pun dengan buku Islam dan Sosialisme, sosialisme di terangkan sebagai kerangka islam kontekstual. Esensi dari seluruh ideologi dunia adalah apa yang di namakan dengan sosialisme, yang merupakan faktor fundamental.
            Haji Oemar Said Tjokroaminoto lahir pada 1882, dari keluarga priyayi di Ponorogo.  Pada awalnya, ia juga mengikuti jejak kepriyayian ayahnya, sebagai pejabat pangreh praja. Ia masuk pangreh praja pada tahun 1900 setelah menamatkan studi di OSVIA, Magelang. Pada tahun 1907, ia keluar dari kedudukannya sebagai pangreh pradja karena ia muak dengan praktek sembah-jongkok yang dianggapnya sangat berbau feodal. Ia kemudian hijrah ke Surabaya, ikut sekolah malam tehnisi dan kemudian bekerja menjadi tehnisi di pabrik gula Rogojampi. Setelah SI berdiri, ia keluar dari pekerjaan dan menjadi pemimpin pergerakan di Surabaya. Dari pergerakan inilah –lewat memimpin SI dan Perusahaan Setia Oesaha- ia mampu mencukupi kehidupannya.Sebagai pemimpin SI, ia dipuja bak ksatria menang setelah perang. Ia dianggap orang yang berbakat dan mampu memikat massa. Bahkan ia juga merupakan guru yang baik, dan mampu melahirkan tokoh-tokoh pergerakan hingga awal kemerdekaan. Diantara murid-murid Tjokro yang terkenal adalah Sukarno, Kartosuwiryo dan juga Musso-Alimin. Sukarno, sebagaimana dikenal luas, adalah murid dan penghuni pondokan Tjokro, serta juga menantu Tjokro. Sukarno menyerap kecerdasan Tjokro, terutama dari gaya berpidato. Pada masa kemerdekaan, Sukarno dikenal sebagai tokoh nasionalis, proklamator dan presiden R.I. Kartosuwiryo, juga pernah beberapa tahun tinggal bersama Tjokro. Setelah kemerdekaan, Kartosuwiro mendirikan Darul Islam sebagai perlawanan terhadap Sukarno. Musso-Alimin, dua tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), juga merupakan murid Tjokro. Keduanya, Pada tahun 1948 di Madiun, juga bertarung dengan Sukarno. Jadi pertarungan Nasionalisme Sukarno- Islam Kartosuwiryo-Komunis Musso/Alimin, adalah pertarungan antara murid-murid Tjokro. Hal ini mengisyaratkan bahwa Tjokro ditafsirkan berbeda oleh para muridnya. Dalam beberapa hal, ide Tjokro lebih dimengerti Sukarno yang mengolahnya menjadi Nasakom, sebagai lambang persatuan nasional.
            Disaat masuk dalam wilayah pergerakan nasional, Tjokro pada awalnya mulai dikenal sebagai pemimpin lokal Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Dalam aktivitas-aktivitas SI, Tjokroaminoto yang kemudian menduduki posisi sentral di tingkat pusat, menjadi demikian berpengaruh bukan hanya karena ia adalah redaktur Suara Hindia, tetapi  juga karena tidak adanya orator saingan dalam vargadering-vargadering  SI yang sanggup mengalahkan “suara baritonnya yang berat dan dapat didengar ribuan orang tanpa mikrofon”.  Dibawah kepemimpinannya, Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar dan bahkan mendapat pengakuan dari pemerintahan kolonial. Hal ini tidak lain, adalah sebagai hasil pendekatan kooperatif yang dijalankan Tjokroaminoto.  Ketika terjadi polemik keanggotaan ganda dalam tubuh Sarekat Islam, Tjokro adalah tokoh yang menginginkan persatuan SI dapat dipertahankan. Ia lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai perekat antar pihak yang bertikai, walau dalam beberapa hal ia lebih dekat kepada kelompok SI- Putih. Menjelang perpecahan SI, personalitas Tjokro mulai banyak dipertanyakan. Pada 6, 7 dan 9 Oktober 1920, Dharsono membuat artikel panjang mengkritik Tjokro yang dianggap menyengsarakan SI dengan pengeluaran kepentingan pribadinya yang berjumlah besar (3000 gulden). Dharsono menuduh secara tidak langsung dengan mengatakan bahwa Tjokro terlibat penggelapan, “mengapa CSI tidak punya uang…sedangkan Tjokro kelimpahan”, demikian tulis Dharsono.
Islam-Sosialis, sebuah dikotomi
            Selanjutnya, tepat ketika ia berumur 40 tahun, Tjokro mulai beralih kepada Islam dalam arti yang lebih serius. Pada September 1922, ia mulai menerbitkan artikel berseri “Islam dan Sosialisme” di Soeara Boemiputera dan mencoba mendasarkan pandangan sosialismenya pada Islam. Pada Kongres Al-Islam di Cirebon, 31 Oktober-2 November 1922, ia juga diangkat sebagai ketua kongres. Arti penting kongres ini, seperti dikatakan Agus Salim, yaitu untuk “mendorong persatuan segala golongan orang Islam di Hindia atau Orang Islam di seluruh dunia dan Bantu-membantu” dan melihat Kemal Attaturk sebagai pemimpin teladan yang bekerja demi persatuan Islam (baca, Pan Islamisme). 
            Sebagai tokoh SI, ia kemudian melakukan tur propaganda ke pertemuan SI-SI local. Dalam pidatonya ia sudah melakukan pendikotomian antara Islam dan komunis. Baginya SI adalah berdasarkan Islam, dan karena kaum komunis itu Atheis (tidak bertuhan) maka komunisme tidak sesuai dengan SI.  Sesudah kongres CSI di Madiun, 17-23 Februari 1923, Tjokro semakin mengecam kaum komunis. Bahkan ia juga akan membentuk SI dan PSI tandingan, ditempat-tempat dimana kaum komunis melakukan kontrol terhadap SI. Dengan demikian, dimulailah suatu upaya disiplin partai, untuk membersihkan SI dari unsur komunis. Akibatnya kelompok SI pro-komunis, mengadakan kongres tandingan di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923. Dalam forum itu, Tjokro dikecam oleh HM Misbach, bahkan Tjokro dianggapnya sebagai racun karena dianggap melakukan pembohongan dengan dikotomi Islam-komunis. Misbach menuding bahwa Tjokro hendak menjadi raja dan juga mengungkit kembali skandal Tjokro yang pernah diungkap Dharsono. Secara substansial, Misbach juga menolak dikotomi Tjokro, baginya Islam dan komunis adalah sama, karena memperjuangkan sama rata-sama rasa. Kecaman Misbach terhadap Tjokro, mendapat kecaman balik dari Sukarno, sehingga pada akhirnya Misbach-pun meminta maaf atas pidatonya yang menyinggung.
            Pada perkembangan pemikiran Tjokro selanjutnya, tidak banyak berubah. Saat ia berpidato mengenai Islam, hal ini banyak ditujukan bagi symbol persatuan nasional.  Tjokro misalnya berpendapat bahwa solidaritas bumi putra dibangun atas nama Islam. Dan orang-orang diberitahu bahwa semua anggota SI bersaudara, terlepas dari umur, pangkat dan status.
            Setelah menemukan Islam, maka Tjokro memberi geist baru bagi Islam yaitu dengan sosialisme, yang coba digali dari dalam Al-Qur’an. Tampaknya, Tjokro sadar akan bahaya sosialisme yang dengan “keseksiannya” banyak menarik pengikut dari aktivis pergerakan. Jika Islam dimaknai secara pasif, bukan suatu unsur yang “seksi”, menarik dan berjuang bagi perubahan, maka langkah Islam tidak akan beranjak dari fungsi praktik ritual belaka. Bagi Tjokro, Islam adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan di persatukan, sebagai dasar kebangsaan yang dibangun dalam proses menuju Indonesia.

*Oleh Don Gusti Rao, Refleksi pada kelas ke lima sekolah pemikir Megawati Institue. 
Referensi: Humaidi, “H.O.S Tjokroaminoto: 
Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia”, FIB UI.