“Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah
saudara-saudara menjalankan offer (pengorbanan) ini kepada tanah air dan bangsa
kita, pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan,
supaya Indonesia merdeka lekas damai”.
Meminjam K.H
Firdaus A.N.[1],
“rayuan Soekarno” yang fasih tersebut berhasil mengelabui kubu Islam dalam
pengurangan tujuh kata sakral piagam Jakarta, yang kemudian bersama kubu
nasionalis lain seperti Bung Hatta meyakinkan KI Bagus Hadikusumo yang dianggap
mewakili tokoh-tokoh Islam lain pada pagi hari sebelum sidang PPKI.
Meski
tdak bisa dikatakan sebagai awal konflik antara “kubu” Nasionalis – Islam,
namun ini di yakini cukup menjadi embrio yang kemudian sebagai parameter
polemik klasik keduanya.
Kubu
nasionalis-sekular, dengan prularitasnya memang menginginkan negara inklusif
yang bersahaja, walaupun di peruntukkan bagi pemeluknya, syariat Islam dalam
piagam Jakarta dinilai akan menjadi sebuah sentimental agama dan gurita
disintegrasi dalam negara yang masih hijau. Mereka peka bahwa ini bisa di
jadikan sebagai senjata ampuh untuk kemudian menggalang kekuatan menjadi sebuah
negara teokrasi eksklusif. Beberapa cendikia muslim yang dianggap radikal
terbukti mengimplementasikannya lewat beberapa kup tatkala Indonesia masih
merasakan hegemoni kemerdekaan awal. Padahal, awam pun mahfum, negara teokrasi dengan
ke-khalifah-annya adalah utopia besar
di tengah pemikiran-pemikiran kecil bila di terapkan di Indonesia. Sebuah hal
yang mubazir, tatkala memaksakkan khalifah di negara bhineka yang notabene
terdiri dari berbagai umat, mengapa tidak serta merta membuat paradigma kritis
tentang konsepsi negara Rasul? Negara dengan tingkat relijiusitas tinggi yang
mengakomodir berbagai umat. Indonesia pun dulu di yakini adalah ejawantah dari
negara Rasul, yang menjadi wadah lintas umat.
Kembali
ke piagam Jakarta, yang menarik, disela pertentangan kubu yang dianggap radikal
dan tidak bisa menerima pencoretan tujuh kata tersebut dengan kaum nasionalis-sekuler,
terselip kisah SARA yang dinamis, kisah (konon) tendensi sepihak akibat
sentimentil ke - agamaan. Adalah Dr. Sam Ratulangi, politisi Kristiani Manado
yang dikatakan mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan normatif tersebut.[2]
Sebelumnya, politisi kristiani lain, A.A. Maramis, turut dengan tulus
menandatangani piagam bersejarah bersama sembilan orang perwakilan agama dan
golongan lain. Diyakini, hal tersebut – peran Sam Ratulangi – masih simpang
siur, mungkin karena cukup sensitif dan riskan. Selain itu, validitasnya tidak
kuat karena satu-satunya buku yang mengulas kejadian tersebut adalah terbitan
Cornell University,[3]
Amerika Serikat, terkesan provokatif.
Disintegrasi laten
Prof.
Dr. Hamka Haq, penulis buku Pancasila 1
Juni dan Syariat Islam ketika berkunjung ke Makassar dan berkomunikasi
dalam sebuah forum dengan pemeluk Hindu,[4]
mendapatkan sebuah argumen yang menarik, si pemeluk Hindu itu berkata, “kami
tidak berkeberatan dengan syariat Islam yang di peruntukkan bagi pemeluknya,
tapi jangan terkejut, ketika nanti begitu banyak muslim yang berbondong pindah
keagama kami”. Ya, dengan begitu, mudah bagi kaum muslim untuk menjadi sebuah
klaim pada saat persidangan kejahatannya, bahwa pada saat itu juga berpindah
agama, agar terhindar dari syariat islam yang di peruntukkan bagi pemeluknya.
Ini menggelikan, niscaya agama dijadikan sebagai wahana bermain dalam konsepsi
kejahatan, dalam taktik kriminalitas. Membebaskan mereka memainkan agama tanpa
sebuah manifestasi yang solutif adalah fikiran kerdil.
Faktor
fundamental pemikiran Piagam Jakarta mungkin tidak terlalu kritis mengarah
kesana, menganggap hal itu wajar adanya. Padahal adalah sebuah kekeliruan besar
disaat negara madya sibuk mengurusi jatidiri dalam ruang relijiusitas di campuri
oleh praktek-praktek konyol.
“Terpelihara” dengan baik
Konflik
tersebut pun bermetamorfosa hingga kini, bak bola salju yang semakin besar,
polemik meluas dan semakin mengena pembahasannya terkait sebuah ideologi yang
disakralkan pada Orde Baru: Pancasila. Meminjam Gus Dur, bahwa pancasila adalah
manifestasi-implisit dari berbagai ideologi besar dunia yang hegemonial di
Indonesia, Agamais yang memang condong ke Islam lewat frasa “Ketuhanan yang
Maha Esa”-nya diwakili oleh sila pertama,. Sosialisme yang merupakan
fundamental dari seluruh ideologi dunia ada pada sila ke dua, sila ketiga
manifestasi dari Nasionalisme, sila ke-empat mewakili prinsip-prinsip demokrasi,
dan komunisme lewat egalitariannya termaktub pada keadilan sosial pada sila
pamungkas.
Pancasila
yang secara substantif dilahirkan pada masa Majapahit, akibat salah persepsi,
memang terkesan menjadi tameng bagi kaum Nasionalis. Sakralisasi Pancasila –
yang memang tidak perlu – menjadikan kaum Islamis konservatif merasa jijik dan
wajib melakukan koreksi mendalam pada sebuah fenomena yang parsial. Semua
kemelut keagamaan-kebangsaan pada saat dan pasca Orde Baru di nakhodai oleh isu
seksi Pancasila dan asas tunggalnya menjadi hal yang sensitif.
Lahir
pula berbagai organisasi yang secara ideologi bersikap korektif terhadap
pancasila, konsekuensi demokratisasi pasca berakhirnya rezim otoritarian.
Kelompok-kelompok radikal yang memang alergi terhadap Pancasila terus bergerak
secara under ground, bermain bersih
secara persuasif, doktrinasi yang dilakukan secara komperhensif tidak jarang
menjadikan regenerasi-kaderisasi yang optimal, yang menghasilkan kader-kader
akademis. Sasaran jelas, pada akar rumput yang masih hijau, karakteristik yang
dibentuk sejak dini untuk kemudian mendikte asas tunggal.
Kekeliruan
yang masih terpelihara dalam track
Pancasila adalah produk-produk Orde Baru, seperti asas tunggal misalnya, asas
yang lahir dari sebuah ketakutan rezim dinilai sudah kadaluarsa bila diterapkan
saat ini. Kata kuncinya hanya satu: setiap asas yang secara ideologi maupun
implementasi tidak kontraproduktif dengan nilai-nilai Pancasia. Asvi Warman
Adam, sejarawan LIPI,[5]
sedikit mengkoreksi, menurutnya perlu dipertimbangkan kembali penerapan asas
tunggal Pancasila pada organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Pada
masa Orde Baru, hal itu dipaksakan dengan tekanan. Apakah sekarang dapat
dilakukan dengan sukarela? Bila Undang-Undang mengenai politik, kepartaian, dan
organisasi kemasyarakatan membolehkan adanya ideologi lain di luar Pancasila
(Asal tidak kontraproduktif), bukankah itu memberi peluang munculnya kembali
perdebatan lama yang sesungguhnya tidak produktif? Memang diakui, selain dari
keran kebebasan pers, di buka seluasnya kebebasan berdemokrasi.
Yang
memang perlu sedikit di wanti adalah banyaknya ormas islam yang tidak kaku
mempertontonkan keradikalannya, padahal sudah jelas secara nilai jauh dari
Pancasila. Inilah yang sukar terealisasi, mau di teropong dari sudut pandang
manapun, tidak ada kontraproduktif anatara Islam dan Pancasila, meminjam pak
Tjokro, pengarang buku Islam dan Sosialisme yang mahsyur itu, kerangka
fundamental islam adalah sosialisme. Secara esensi pasti mempunyai prinsip adil
dan sama rata-sama rasa, egaliter. Pun dengan Pancasila yang gandrung akan
nilai sosialisme. HTI, yang menurut Ulil Abshar Abdalla adalah ancaman serius
bagi NKRI dibanding NII.[6]
Ormas yang dikenal gemar long march
ini memang secara terang-terangan menegaskan ingin mendirikan Khilafah Islamiah
di negara majemuk ini. Bagaimana dengan Front Pembela Islam yang memang cukup
tegas membela prinsip islam? Habib Muksin dalam sebuah diskusi di Megawati
Institue menjelaskan bahwa FPI dari dulu tidak menolak Pancasila, ia mengatakan
FPI hanya menolak dengan tegas oknum-oknum yang mensakralkannya.
Asas
tunggal memang sebuah kekeliruan yang wajib di koreksi, namun dengan munculnya
ormas yang bisa menjadi sebuah ultimatum kontekstual, koreksi tersebut tidak
mudah, butuh waktu dan konsesus bersama.
Bangsa
adalah sebuah spektrum besar yang di dalamnya terdapat manusia yang mempunyai
hak hidup dan hak berideologi, analogi sebuah laut, tidak hanya Hiu saja yang
dengan keperkasaan dan keangkuhannya hidup di dalam dengan sewenangnya,
ikan-ikan kecil yang sudah ditakdirkan menjadi mangsa pun berhak untuk
mencicipi asinnya air laut, terserah bagaimana Hiu itu dapat menjaga ritme
kapan dan dimana untuk menyantap ikan-ikan kecil tersebut, butuh jarak dan
dimensi waktu yang sinambung untuk menikmatinya, agar tersedia esok hari bagi
keluarga dan spesiesnya.
Tulisan
ini tidak menjadi sebuah elaborasi mendalam terkait historia agama dan
nasionalisme (bangsa) dari masa ke masa, namun menjadi tinjauan praktis sebagai
sebuah refleksi. Tak dinyana, pertarungan ideologi bak teka-teki “telur atau
ayam” pada masa kecil dulu, sukar di tebak. Meminjam cendikia lokal bahwa
ideologi tidak akan pernah habis, ia akan terus berproses dan berkontinyuasi,
datang dalam segala bentuk, berbagai wajah dan wacana.
*Oleh: Don Gusti Rao
Sabtu130811.15:31 @ Ruang Tengah